TUGAS ESSAI
MODEL OPTIMALISASI PEMBIAYAAN BMT DALAM PENGEMBANGAN UMKM SEBAGAI UPAYA MENYAMBUT    PERDAGANGAN BEBAS MEA 2015
Oleh: Iswatul Hasanah
120721100098
Abstrak
Perdagangan bebas MEA 2015 menjadi tantangan Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk tebesar diantara Negara ASEAN yang lain. Namun jumlah penduduk yang mayoritas tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan ekonomi yang merata.
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, UMKM selalu digambarkan sebagai sector yang mempunyai peranan penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sector tradisional maupun modern.
Namun permasalahan mendasar bagi UMKM di Indonesia adalah permodalan. BMT sebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang notabenenya merangkul masyarakat berpenghasilan rendah, diharapkan dapat menyokong pertumbuhan UMKM dengan memberikan pembiayaan berprinsip bagi hasil dan melakukan pembinaan terhadap UMKM sehingga perkembangan UMKM di Indonesia semakin meningkat  dalam menyambut Perdagangan Bebas MEA 2015.
Kata Kunci: BMT, UMKM, Perdagangan Bebas MEA 2015

A.    Pendahuluan
            Perdagangan bebas MEA 2015 yang menjadi trending topic pada dewasa ini seakan menimbulkan permasalahan pro-kontra yang tak ada habisnya. Kesiapan Indonesia yang masih tergolong sebagai Negara berkembang, mengharuskan bersaing dengan Negara-negara di Asia Tenggara memicu dua hal yang dihadapi oleh Negara Indonesia, yaitu semangat dan ketakutan.
            Semangat ini didukung karena banyaknya tenaga kerja di Indonesia yang produktif dan merupakan populasi terbesar dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara yang lain. Sehingga dengan banyaknya tenaga kerja produktif tersebut, Indonesia bisa meningkatkan pendapatan perkapita yang akan menyebabkan peningkatan pendapatan nasional pula, sedangkan ketakutan yang dialami disebabkan kurangnya kemampuan masyarakat kita Indonesia dalam bidang keilmuan, teknologi, wawasan dan lain sebagianya. Sehingga ditakutkan akan jauh sekali kualitas Sumber Daya Manusia dibandingkan dengan Negara ASEAN yang lain.
            Kemampuan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam menyerap
tenaga kerja di Indonesia cukup besar, yaitu sebanyak 97,3% dari total angkatan kerja yang bekerja.[1] Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia tahun 2008 adalah lebih dari 51.000.000 (lima puluh satu juta) unit, dan merupakan unit usaha terbesar dari total unit usaha yang ada.[2] Ini menandakan bahwa UMKM sebagai penyokong pertumbuhan perekonomian di Indonesia, karena mayoritas penduduknya bergelut dalam bidang UMKM.
Masalah mendasar usaha kecil yang paling menonjol menyangkut menyediakan pembiayaan usaha alias modal usaha. Kebutuhan modal sangat terasa pada saat seseorang ingin memulai usaha baru.
        Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.[3]
        Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) sebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang notabenenya merangkul masyarakat berpenghasilan rendah, diharapkan dapat menyokong pertumbuhan UMKM sehingga perkembangan UMKM di Indonesia semakin meningkat terutama dalam menghadapi Perdagangan Bebas MEA 2015. Penulis mencoba memberikan saran dalam optimalisasi peran BMT ini dalam mengembangkan UMKM, semoga karya ini bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan komponen lembaga keuangan syariah dalam memberikan pembiayaan  terhadap UMKM demi kemajuan ekonomi nasional Indonesia.
B.    Pembahasan
1.     Urgensi  Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
            Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil. Baitulmaal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang nonprofit, seperti zakat, infaq, dan sedekah. Adapun baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan islam. Lembaga ini didirikan dengan maksud untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh pelayanan bank Islam atau BPR Islam. Prinsip operasinya didasarkan atas prinsip bagi hasil, jual beli (ijarah), dan titipan (wadiah). Karena itu, meskipun mirip dengan bank Islam, bahkan boleh dikatakan menjadi cikal bakal dari bank Islam, BMT memiliki pangsa pasar tersendiri, yaitu masyarakat kecil yang tidak terjangkau layanan perbankan serta pelaku usaha kecil yang mengalami hambatan “psikologis” bila berhubungan dengan pihak bank.[4]
            M. Nur Rianto Al-Arif (2012: 317) mengemukakan bahwa Baitul Mal wat Tamwil atau Balai Usaha Mandiri Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan system ekonomi yang salaam: keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian dan kesejahteraan.[5]
            BMT sesuai namanya terdiri dari dua fungsi utama, yaitu:[6]
a.   Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha miro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
b.   Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Dengan demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai institusi yang bergerak di bidang investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada fungsi kedua ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga keuangan, BMT juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan BMT bertugas menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang mempercayakan dananya disimpan di BMT dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT) yang diberikan pinjaman oleh BMT. Sedangkan sebagai lembaga ekonomi, BMT berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti mengelola kegiatan perdagangan, industry dan pertanian
2.     Model Optimalisasi Pembiayaan BMT Dalam Pengembangan UMKM Sebagai Upaya Persiapan Perdagangan Bebas MEA 2015
Baitul Maal Wattamwil merupakan lembaga keuangan mikro syariah. Sebagai lembaga keuangan, BMT menjalankan fungsi menghimpun dana dan menyalurkannya. Cara kerja dan perputaran dana BMT secara sederhana dapat dilihat pada gambar dibawah ini:[7]
 









             
        Pada awalnya, dana BMT diharapkan diperoleh dari para pendiri, berbentuk simpanan pokok khusus. Sebagai anggota biasa, para pendiri juga membayar simpanan pokok, simpanan wajib, dan jika ada, simpanan sukarela. Dari modal pada pendiri ini dilakukan investasi untuk membiayai pelatihan pengelola, mempersiapkan kantor dengan peralatannya dan perangkat administrasi. Selama belum memiliki penghasilan yang memadai, tentu modal perlu juga untuk menalangi pengeluaran biaya harian yang diperhitungkan secara bulanan, biasa disebut dengan biaya operasional BMT. Selain modal dari para pendiri, modal dapat juga berasal dari lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti yayasan, kas masjid, BAZ, LAZ, dll.
        BMT sebagai lembaga keuangan non-bank yang bersifat social, juga sebagai lembaga bisnis dalam rangka memperbaiki perekonomian umat. Sesuai dengan hal tersebut maka dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada anggotanya. Orientasi pembiayaan BMT adalah untuk mengembangkan dana atau meningkatkan pendapatan anggota, pertanian, industry rumah tangga, perdagangan dan jasa.[8]
        Kegiatan pembiayaan/ kredit usaha kecil bawah (mikro) dan kecil, antara lain dapat berbentuk:[9]
a.      Pembiayaan mudharabah, yaitu pembiayaan modal dengan menggunkan mekanisme bagi hasil
b.     Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan bersama dengan menggunakan mekanisme bagi hasil
c.      Pembiayan murabahah, yaitu pemilikan barang tertentu yang dibayar pada saat jatuh tempo
d.     Pembiayaan ba’i bi saman ajil, yaitu pemilikan barang tertentu dengan mekanisme pembayaran cicillan
e.      Pembiayaan qard al-hasan, yaitu pinjaman tanpa adanya tambahan pengembalian, kecuali sebatas biaya administrasi.  
        Mengenai cara BMT mampu membayar bagi hasil kepada anggota, khususnya anggota yang menyimpan simpanan sukarela, BMT harus memiliki pemasukan keuntungan dari hasil usaha pembiayaan berbentuk modal kerja yang diberikan kepada para anggota, kelompok usaha anggota (Pokusma), pedagang ikan, buah, pedagang asongan, dan sebagainya. Oleh karena itu, pengelola BMT harus menjemput bola dalam membina anggota pengguna dana BMT agar beruntung cukup besar dan BMT juga akan memperoleh untung yang cukup besar pula.[10]
        Untuk mendukung kegiatan sector rill anggota BMT, terdapat dua jenis kegiatan yang sangat mendasar yang perlu untuk dikembangkan oleh BMT. Pertama, mengumpulkan informasi dan sumber informasi tentang berbagai jenis kegiatan produktif unggulan untuk mendukung usaha kecil dan kelompok usaha anggota di daerah itu. Kedua, kegiatan mendapatkan informasi harga dan melembagakan kegiatan pemasaran yang efektif sehingga produk-produk hasil usaha anggota dan kelompok usaha dapat dijual dengan harga yang layak dan memenuhi jerih payah seluruh anggota keluarga yang bekerja untuk kegiatan tersebut.
        Mengingat UMKM merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia maka untuk tujuan tersebut UMKM dalam jangka panjang harus didorong untuk mampu bersaing dalam pasar global.
Sebagaimana kita ketahui, bahwasannya UMKM di Indonesia masih banyak mengalami permasalahan-permasalahan mendasar seperti kekurangan modal, sulitnya memasarkan produk, keterbatasan informasi dan lain sebagainya.
Badan Pusat Statistik (2003) di dalam Sri Winarni (2006)   mengidentifikasikan permasalahan umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan dalam pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang pengetahuan manajemen keuangan, dan  (8)  Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan).[11]
Permasalahan-permasalahan tersebut harus diatasi oleh pemerintah, lembaga keuangan dan pelaku usaha. Peranan pemerintah disini adalah memutuskan kebijakan-kebijakan yang memberikan iklim kondusif bagi dunia usaha sedangkan lembaga keuangan disini jelas sebagai perantara keuangan untuk mengoptimalkan pemerdayaan UMKM dan pelaku usaha itu sendiri memiliki peranan pokok bagi perkembangan UMKM karena pelaku usaha memiliki potensi yang kuat dalam pertumbuhan UMKM.
Soeharto (2001:90) mengemukakan bahwa kekuatan dunia usaha nasional sangat tergantung dari perilaku ekonomi ini yakni usaha menengah-kecil dan koperasi. Pengembangan UMKM harus terus diupayakan berkembang sehingga dapat menyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas, bimbingan, pendampingan, dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.[12]
BMT memiliki peluang cukup besar dalam berperan mengembangkan ekonomi berbasis pada ekonomi kerakyatan. Hal ini karena BMT ditegakkan diatas prinsip syariah yang memberikan kesejukan dan ketenangan, baik bagi pemilik dana maupun pengguna dana.
        Pembiayaan yang diberikan BMT diharapkan mampu menyokong perkembangan UMKM di Indonesia. Namun pembiayaan saja tidak cukup, perlu diadakan pembinaan yang intensif dari BMT kepada nasabah atau penerima pinjaman untuk UMKM ini. Misalkan dengan menyelenggarakan program-program pelatihan bisnis/ kewirausahaan secara berkala bagi anggota-anggotanya. Sehingga nantinya UMKM akan lebih terarah dan maksimal. Dengan pengembangan UMKM di Indonesia ini nantinya, perekonomian Indonesia semakin kuat, sehingga siap dengan segala tantangan yang ada di depan mata, seperti perdagangan bebas MEA 2015.
C.    Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis mengambil kesimpulan:
1.     BMT sebagai lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, berfungsi untuk menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan system ekonomi yang salaam: keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian dan kesejahteraan.
2.     Pembiayaan yang diberikan BMT diharapkan mampu menyokong perkembangan UMKM di Indonesia. Namun pembiayaan saja tidak cukup, perlu diadakan pembinaan yang intensif dari BMT kepada nasabah atau penerima pinjaman untuk UMKM ini. Misalkan dengan menyelenggarakan program-program pelatihan bisnis/ kewirausahaan secara berkala bagi anggota-anggotanya.
3.     Dengan pengembangan UMKM di Indonesia nantinya, perekonomian Indonesia semakin kuat, sehingga siap dengan segala tantangan yang ada di depan mata, seperti perdagangan bebas MEA 2015.

DAFTAR PUSTAKA
Al Arif,  M. Nur Rianto. 2012. “Lembaga Keuangan Syariah; Suatu Kajian Teoretis Praktis”. Bandung: CV Pustaka Setia.
Anugerah, Rizki Tri. “Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Melalui Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil Oleh Lembaga Keuangan Syariah.
http://usahamodalkecil31.blogspot.com/2012/08/kendala-usaha-kecil-menengah-dan-solusi.html 
Huda, Nurul dan Mohammad Heykal. 2010. “Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis.”Jakarta: Kencana.
Indonesia, Bank. 2011. “Buku Kajian Akademik Pemeringkat Kredit Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia”.Jakarta: Bank Indonesia.
Rois, Era Ikhtiani. 2010. “Peran BMT Barokah Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil di Pasar Gesikan, Ngluwar, Magelang” . Skripsi. Yogyakarta,Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Soemitra, Andri. 2012. “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
UUD No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.










[1] Bank Indonesia, “Buku Kajian Akademik Pemeringkat Kredit Bagi Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah di Indonesia”, (Jakarta: Bank Indonesia, 2011). www.bi.go.id. Diakses tanggal 15 Juni 2015.
[2] Rizki Tri Anugerah, “Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Melalui Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil Oleh Lembaga Keuangan Syariah”: 1-24
[4] Nurul Huda dan Mohammad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis dan Praktis”, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 363.
[5] M. Nur Rianto Al Arif, “Lembaga Keuangan Syariah; Suatu Kajian Teoretis Praktis”,(Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm  317.
[6] Andri Soemitra, “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm 451. 
[7] M. Nur Rianto Al Arif, “Lembaga Keuangan Syariah; Suatu Kajian Teoretis Praktis”... hlm 329..
[8] Era Ikhtiani Rois, “Peran BMT Barokah Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil di Pasar Gesikan, Ngluwar, Magelang” (Yogyakarta,18 November 2010), hlm 18.
[9] M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah; Suatu Kajian Teoretis Praktis ... hlm 331.
[10] Ibid hlm 329.
[12] UUD No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

0 komentar:

Posting Komentar