TUGAS ESSAI
MODEL OPTIMALISASI PEMBIAYAAN BMT DALAM PENGEMBANGAN UMKM SEBAGAI
UPAYA
MENYAMBUT PERDAGANGAN BEBAS MEA 2015
Oleh:
Iswatul Hasanah
120721100098
Abstrak
Perdagangan bebas MEA 2015 menjadi tantangan Indonesia sebagai
Negara dengan jumlah penduduk tebesar diantara Negara ASEAN yang lain. Namun
jumlah penduduk yang mayoritas tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan
ekonomi yang merata.
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia,
UMKM selalu digambarkan sebagai sector yang mempunyai peranan penting, karena
sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan
usaha kecil baik di sector tradisional maupun modern.
Namun permasalahan mendasar bagi UMKM di Indonesia
adalah permodalan. BMT sebagai
salah satu lembaga keuangan syariah yang notabenenya merangkul masyarakat
berpenghasilan rendah, diharapkan dapat menyokong pertumbuhan UMKM dengan
memberikan pembiayaan berprinsip bagi hasil dan melakukan pembinaan terhadap
UMKM sehingga perkembangan UMKM di Indonesia semakin meningkat dalam menyambut Perdagangan Bebas MEA 2015.
Kata Kunci: BMT, UMKM, Perdagangan Bebas MEA 2015
A.
Pendahuluan
Perdagangan bebas MEA 2015 yang menjadi trending
topic pada dewasa ini seakan menimbulkan permasalahan pro-kontra yang tak
ada habisnya. Kesiapan Indonesia yang masih tergolong sebagai Negara
berkembang, mengharuskan bersaing dengan Negara-negara di Asia Tenggara memicu
dua hal yang dihadapi oleh Negara Indonesia, yaitu semangat dan ketakutan.
Semangat
ini didukung karena banyaknya tenaga kerja di Indonesia yang produktif dan
merupakan populasi terbesar dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara yang
lain. Sehingga dengan banyaknya tenaga kerja produktif tersebut, Indonesia bisa
meningkatkan pendapatan perkapita yang akan menyebabkan peningkatan pendapatan
nasional pula, sedangkan ketakutan yang dialami disebabkan kurangnya kemampuan
masyarakat kita Indonesia dalam bidang keilmuan, teknologi, wawasan dan lain
sebagianya. Sehingga ditakutkan akan jauh sekali kualitas Sumber Daya Manusia
dibandingkan dengan Negara ASEAN yang lain.
Kemampuan usaha mikro, kecil dan menengah
(UMKM) dalam menyerap
tenaga kerja di Indonesia cukup besar, yaitu sebanyak 97,3% dari
total angkatan kerja yang bekerja.[1]
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) di Indonesia tahun 2008 adalah lebih dari 51.000.000 (lima puluh
satu juta) unit, dan merupakan unit usaha terbesar dari total unit usaha yang ada.[2]
Ini menandakan bahwa UMKM sebagai penyokong pertumbuhan perekonomian di
Indonesia, karena mayoritas penduduknya bergelut dalam bidang UMKM.
Masalah mendasar usaha kecil yang paling menonjol
menyangkut menyediakan pembiayaan usaha alias modal usaha. Kebutuhan modal
sangat terasa pada saat seseorang ingin memulai usaha baru.
Permodalan merupakan faktor utama yang
diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh
karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau
perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang
jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga
keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan
teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi
hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak
semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.[3]
Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
sebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang notabenenya merangkul
masyarakat berpenghasilan rendah, diharapkan dapat menyokong pertumbuhan UMKM
sehingga perkembangan UMKM di Indonesia semakin meningkat terutama dalam menghadapi
Perdagangan Bebas MEA 2015. Penulis mencoba memberikan saran dalam optimalisasi
peran BMT ini dalam mengembangkan UMKM, semoga karya ini bisa menjadi
pertimbangan bagi pemerintah dan komponen lembaga keuangan syariah dalam
memberikan pembiayaan terhadap UMKM demi
kemajuan ekonomi nasional Indonesia.
B.
Pembahasan
1.
Urgensi Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah, yaitu
baitul maal dan baitul tamwil. Baitulmaal lebih mengarah pada
usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang nonprofit, seperti zakat,
infaq, dan sedekah. Adapun baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat
kecil dengan berlandaskan islam. Lembaga ini didirikan dengan maksud untuk
memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh pelayanan bank Islam
atau BPR Islam. Prinsip operasinya didasarkan atas prinsip bagi hasil, jual
beli (ijarah), dan titipan (wadiah). Karena itu, meskipun mirip dengan bank
Islam, bahkan boleh dikatakan menjadi cikal bakal dari bank Islam, BMT memiliki
pangsa pasar tersendiri, yaitu masyarakat kecil yang tidak terjangkau layanan
perbankan serta pelaku usaha kecil yang mengalami hambatan “psikologis” bila
berhubungan dengan pihak bank.[4]
M. Nur Rianto Al-Arif (2012: 317)
mengemukakan bahwa Baitul Mal wat Tamwil atau Balai Usaha Mandiri
Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi
hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat
dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas
prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan
berlandaskan system ekonomi yang salaam: keselamatan (berintikan
keadilan), kedamaian dan kesejahteraan.[5]
BMT sesuai namanya terdiri dari dua
fungsi utama, yaitu:[6]
a.
Baitul
tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan kegiatan pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi
pengusaha miro dan kecil dengan antara lain mendorong kegiatan menabung dan
menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi.
b.
Baitul
mal (rumah harta),
menerima titipan dana zakat, infak dan sedekah serta mengoptimalkan
distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
Dengan
demikian, keberadaan BMT dapat dipandang memiliki dua fungsi utama, yaitu
sebagai media penyalur pendayagunaan harta ibadah seperti zakat, infak, sedekah
dan wakaf, serta dapat pula berfungsi sebagai institusi yang bergerak di bidang
investasi yang bersifat produktif sebagaimana layaknya bank. Pada fungsi kedua
ini dapat dipahami bahwa selain berfungsi sebagai lembaga keuangan, BMT juga
berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan BMT bertugas
menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) yang mempercayakan dananya
disimpan di BMT dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT) yang
diberikan pinjaman oleh BMT. Sedangkan sebagai lembaga ekonomi, BMT berhak
melakukan kegiatan ekonomi, seperti mengelola kegiatan perdagangan, industry
dan pertanian
2.
Model
Optimalisasi Pembiayaan BMT Dalam Pengembangan UMKM Sebagai Upaya Persiapan Perdagangan Bebas MEA 2015
Baitul Maal Wattamwil merupakan lembaga keuangan mikro syariah. Sebagai lembaga
keuangan, BMT menjalankan fungsi menghimpun dana dan
menyalurkannya. Cara kerja dan perputaran dana BMT secara sederhana dapat
dilihat pada gambar dibawah ini:[7]

Pada awalnya, dana BMT diharapkan diperoleh
dari para pendiri, berbentuk simpanan pokok khusus. Sebagai anggota biasa, para
pendiri juga membayar simpanan pokok, simpanan wajib, dan jika ada, simpanan
sukarela. Dari modal pada pendiri ini dilakukan investasi untuk membiayai
pelatihan pengelola, mempersiapkan kantor dengan peralatannya dan perangkat
administrasi. Selama belum memiliki penghasilan yang memadai, tentu modal perlu
juga untuk menalangi pengeluaran biaya harian yang diperhitungkan secara
bulanan, biasa disebut dengan biaya operasional BMT. Selain modal dari para
pendiri, modal dapat juga berasal dari lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti
yayasan, kas masjid, BAZ, LAZ, dll.
BMT sebagai lembaga keuangan non-bank yang bersifat social, juga
sebagai lembaga bisnis dalam rangka memperbaiki perekonomian umat. Sesuai
dengan hal tersebut maka dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada
anggotanya. Orientasi pembiayaan BMT adalah untuk mengembangkan dana atau
meningkatkan pendapatan anggota, pertanian, industry rumah tangga, perdagangan
dan jasa.[8]
Kegiatan pembiayaan/ kredit
usaha kecil bawah (mikro) dan kecil, antara lain dapat berbentuk:[9]
a. Pembiayaan mudharabah, yaitu pembiayaan
modal dengan menggunkan mekanisme bagi hasil
b. Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan
bersama dengan menggunakan mekanisme bagi hasil
c. Pembiayan murabahah, yaitu pemilikan
barang tertentu yang dibayar pada saat jatuh tempo
d. Pembiayaan ba’i bi saman ajil, yaitu
pemilikan barang tertentu dengan mekanisme pembayaran cicillan
e. Pembiayaan qard al-hasan, yaitu
pinjaman tanpa adanya tambahan pengembalian, kecuali sebatas biaya
administrasi.
Mengenai cara BMT mampu
membayar bagi hasil kepada anggota, khususnya anggota yang menyimpan simpanan
sukarela, BMT harus memiliki pemasukan keuntungan dari hasil usaha pembiayaan
berbentuk modal kerja yang diberikan kepada para anggota, kelompok usaha
anggota (Pokusma), pedagang ikan, buah, pedagang asongan, dan sebagainya. Oleh
karena itu, pengelola BMT harus menjemput bola dalam membina anggota
pengguna dana BMT agar beruntung cukup besar dan BMT juga akan memperoleh
untung yang cukup besar pula.[10]
Untuk mendukung kegiatan sector rill
anggota BMT, terdapat dua jenis kegiatan yang sangat mendasar yang perlu untuk
dikembangkan oleh BMT. Pertama, mengumpulkan informasi dan sumber
informasi tentang berbagai jenis kegiatan produktif unggulan untuk mendukung
usaha kecil dan kelompok usaha anggota di daerah itu. Kedua, kegiatan
mendapatkan informasi harga dan melembagakan kegiatan pemasaran yang efektif
sehingga produk-produk hasil usaha anggota dan kelompok usaha dapat dijual
dengan harga yang layak dan memenuhi jerih payah seluruh anggota keluarga yang
bekerja untuk kegiatan tersebut.
Mengingat UMKM merupakan bagian terbesar
dari rakyat Indonesia maka
untuk tujuan tersebut UMKM dalam jangka panjang harus didorong untuk mampu
bersaing dalam pasar global.
Sebagaimana
kita ketahui, bahwasannya UMKM di Indonesia masih banyak mengalami
permasalahan-permasalahan mendasar seperti kekurangan modal, sulitnya
memasarkan produk, keterbatasan informasi dan lain sebagainya.
Badan Pusat Statistik
(2003) di dalam Sri Winarni (2006) mengidentifikasikan permasalahan
umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan dalam
pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang
teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang
pengetahuan manajemen keuangan, dan (8) Iklim usaha yang kurang
kondusif (perijinan, aturan/perundangan).[11]
Permasalahan-permasalahan tersebut harus
diatasi oleh pemerintah, lembaga keuangan dan pelaku usaha. Peranan pemerintah disini adalah memutuskan
kebijakan-kebijakan yang memberikan iklim kondusif bagi dunia usaha sedangkan
lembaga keuangan disini jelas sebagai perantara keuangan untuk mengoptimalkan
pemerdayaan UMKM dan pelaku usaha itu sendiri memiliki peranan pokok bagi perkembangan
UMKM karena pelaku usaha memiliki potensi yang kuat dalam pertumbuhan UMKM.
Soeharto
(2001:90) mengemukakan bahwa kekuatan dunia usaha nasional sangat tergantung
dari perilaku ekonomi ini yakni usaha menengah-kecil dan koperasi. Pengembangan
UMKM harus terus diupayakan berkembang sehingga dapat menyokong pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
Pengembangan adalah upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat untuk
memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pemberian fasilitas,
bimbingan, pendampingan, dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.[12]
BMT memiliki peluang cukup besar
dalam berperan mengembangkan ekonomi berbasis pada ekonomi kerakyatan. Hal ini
karena BMT ditegakkan diatas prinsip syariah yang memberikan kesejukan dan
ketenangan, baik bagi pemilik dana maupun pengguna dana.
Pembiayaan yang diberikan BMT diharapkan
mampu menyokong perkembangan UMKM di Indonesia. Namun pembiayaan saja tidak
cukup, perlu diadakan pembinaan yang intensif dari BMT kepada nasabah atau
penerima pinjaman untuk UMKM ini. Misalkan dengan menyelenggarakan
program-program pelatihan bisnis/ kewirausahaan secara berkala bagi
anggota-anggotanya. Sehingga nantinya UMKM akan lebih terarah dan maksimal.
Dengan pengembangan UMKM di Indonesia ini nantinya, perekonomian Indonesia
semakin kuat, sehingga siap dengan segala tantangan yang ada di depan mata,
seperti perdagangan bebas MEA 2015.
C.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas,
penulis mengambil kesimpulan:
1.
BMT
sebagai lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil,
berfungsi untuk menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat
derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan
atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan
berlandaskan system ekonomi yang salaam: keselamatan (berintikan
keadilan), kedamaian dan kesejahteraan.
2.
Pembiayaan
yang diberikan BMT diharapkan mampu menyokong perkembangan UMKM di Indonesia.
Namun pembiayaan saja tidak cukup, perlu diadakan pembinaan yang intensif dari
BMT kepada nasabah atau penerima pinjaman untuk UMKM ini. Misalkan dengan
menyelenggarakan program-program pelatihan bisnis/ kewirausahaan secara berkala
bagi anggota-anggotanya.
3.
Dengan
pengembangan UMKM di Indonesia nantinya, perekonomian Indonesia semakin kuat,
sehingga siap dengan segala tantangan yang ada di depan mata, seperti
perdagangan bebas MEA 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Al Arif, M.
Nur Rianto. 2012. “Lembaga Keuangan Syariah; Suatu Kajian Teoretis Praktis”.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Anugerah, Rizki
Tri. “Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Melalui Pembiayaan
dengan Prinsip Bagi Hasil Oleh Lembaga Keuangan Syariah.
http://usahamodalkecil31.blogspot.com/2012/08/kendala-usaha-kecil-menengah-dan-solusi.html
Huda, Nurul dan Mohammad Heykal. 2010. “Lembaga Keuangan Islam
Tinjauan Teoretis dan Praktis.”Jakarta: Kencana.
Indonesia, Bank.
2011. “Buku Kajian Akademik Pemeringkat Kredit Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
di Indonesia”.Jakarta: Bank Indonesia.
Rois, Era
Ikhtiani. 2010. “Peran BMT Barokah Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil di Pasar
Gesikan, Ngluwar, Magelang” . Skripsi. Yogyakarta,Fakultas Dakwah,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Soemitra, Andri.
2012. “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”.Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
UUD No.20 Tahun
2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Menengah di Indonesia”, (Jakarta: Bank
Indonesia, 2011). www.bi.go.id. Diakses tanggal 15 Juni 2015.
[2] Rizki
Tri Anugerah, “Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Melalui Pembiayaan
dengan Prinsip Bagi Hasil Oleh Lembaga Keuangan Syariah”: 1-24
[4] Nurul
Huda dan Mohammad Heykal, “Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoretis dan
Praktis”, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 363.
[5] M.
Nur Rianto Al Arif, “Lembaga Keuangan Syariah; Suatu Kajian Teoretis Praktis”,(Bandung:
CV Pustaka Setia, 2012), hlm 317.
[6] Andri
Soemitra, “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah”, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012), hlm 451.
[8] Era
Ikhtiani Rois, “Peran BMT Barokah Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil di Pasar
Gesikan, Ngluwar, Magelang” (Yogyakarta,18 November 2010), hlm 18.
20.50 | | 0 Comments
PERMASLAHAN UMKM
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu
digambarkan sebagai sector yang mempunyai peranan penting, karena sebagian
besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha
kecil baik di sector tradisional maupun modern.[1]
Masalah mendasar usaha kecil yang paling menonjol
menyangkut menyediakan pembiayaan usaha alias modal usaha. Kebutuhan modal
sangat terasa pada saat seseorang ingin memulai usaha baru.
Masalah yang menghadang usaha kecil menyangkut
kemampuan akses pembiayaan, akses pasar dan pemasaran, tata kelola manajemen
usaha kecil serta akses informasi. Kesulitan usaha kecil mengakses
sumber-sumber modal karena keterbatasan informasi dan kemampuan menembus sumber
modal tersebut.
Masalah tersebut harus diketahui dan dicari solusinya
agar Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang ada di Indonesia terus berkembang dan
akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Makalah ini membahas tentang “Permasalahan UMKM”, diharapkan dengan
penulisan makalah ini bisa diketahui permasalahan-permasalahan UMKM yang ada di
Indonesia serta pemecahan permaslahan tersebut.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1.
Apa
sajakah permaslahan UMKM yang ada di Indonesia?
2. Bagaimanakah kebijakan pemerintah serta
peran BI dalam memperdayakan UMKM ?
3. Bagaimanakah strategi pengembangan UMKM di
Indonesia?
C.
Pembahasan
1.
Permasalahan
UMKM
Meski
menguntungkan ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja baru, industri baru,
dan berbagai inovasi, usaha kecil lebih berpeluang gagal daripada perusahaan besar,
khususnya pada masa kemunduran ekonomi. Mengapa? Karena kelemahan manajemen,
pendanaan yang tidak memadai, dan kesulitan dalam menghadapi peraturan
pemerintah.[2] Menurut
Louis (2010:161) permasalahan UMK terdiri dari:
a.
Kelemahan
Manajemen
Salah
satu penyebab utama kegagalan usaha kecil adalah manajemen yang tidak memadai.
Para pebisnis banyak memiliki kekuatan dalam bidang-bidang spesifik, seperti
pemasaran atau hubungan interpersonal, namun mereka memiliki kelemahan dalam
bidang-bidang lain seperti pendanaan atau pemenuhan pesanan.
Hal
lebih buruki terjadi bila seseorang memasuki dunia bisnis dengan sedikit , jika
ada, pengetahuan bisnis. Beberapa bisnis baru dimulai hamper sepenuhnya atas
dasar apa yang kelihatannya merupakan ide produk baru yang hebat. Para manajer
beranggapan bahwa mereka akan memperoleh keahlian bisnis yang diperlukan secara
sambil berjalan. Seiringnya, hasilnya adalah kebangkrutan.
b.
Pendanaan
yang tidak memadai
Penyebab
utama kesulitan kecil lainnya dalah pendanaan yang tidak memadai. Pendanaan
yang tidak memadai dapat memperparah kelemahan manajemen karena mempersulit
usaha kecil untuk menarik dan mempertahankan pegawai-pegawai berbakat.
c.
Regulasi
Pemerintah
Para
pemilik usaha kecil kerap mengeluhkan regulasi pemerintah dan birokrasi yang
berlebihan. Biaya administrasi saja menyedot miliaran dolar dari usaha-usaha
kecil setiap tahunnya. Perusahaan yang lebih besar dapat memenuhi berbagai
persyaratan untuk formulir dan laporan secara lebih baik. Sebalinya usaha-usaha
kecil sering kesulitan menyerap administrasi pemerintah karena pegawai dan
anggaran mereka lebih terbatas. Sebagian usaha kecil tutup karena alasan ini.
Namun
pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM),
antara lain terdiri dari factor internal dan eksternal:[3]
a. Faktor
Internal
1) Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses
Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang
diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh
karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau
perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang
jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga
keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan
teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi
hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak
semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
Terkait
dengan hal ini, UKM juga menjumpai kesulitan dalam hal akses terhadap sumber
pembiayaan. Selama ini yang cukup familiar dengan mereka adalah mekanisme
pembiayaan yang disediakan oleh bank dimana disyaratkan adanya agunan. Terhadap
akses pembiayaan lainnya seperti investasi, sebagian besar dari mereka belum
memiliki akses untuk itu. Dari sisi investasi sendiri, masih terdapat beberapa
hal yang perlu diperhatikan apabila memang gerbang investasi hendak dibuka
untuk UKM, antara lain kebijakan, jangka waktu, pajak, peraturan, perlakuan,
hak atas tanah, infrastruktur, dan iklim usaha.
2) Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian
besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang
turun -temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan
formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap
manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang
dengan optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha
tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk
meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
· Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha
kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha
yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi
produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang
kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan
yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau
internasional dan promosi yang baik.
· Mentalitas Pengusaha UKM
Hal
penting yang seringkali pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM,
yaitu semangat entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri. Semangat yang
dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah,
mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko. Suasana pedesaan yang
menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil juga dalam membentuk
kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan dengan santai dan
kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya
kesempatan-kesempatan yang ada.
3) Kurangnya
Transparansi
Kurangnya
transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap generasi
selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang disembunyikan dan tidak
diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga
hal ini menimbulkan kesulitan bagi generasi penerus dalam mengembangkan
usahanya.
b. Faktor
Eksternal
1) Iklim
Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya
pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu
dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap penciptaan
produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan perkembangan
pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan menengah melalui
pembentukan modal tetap brutto (investasi). Keseluruhan indikator ekonomi makro
tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM
serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah
dilaksanakan pada tahun sebelumnya.
Kebijaksanaan
Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus
disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat
antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara
pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.
Kendala
lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk menjalankan
usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai banyaknya prosedur
yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah lagi dengan jangka
waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan kebijakan perekonomian
Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih
mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.
2) Terbatasnya
Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya
informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang
dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu,
tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya yang
disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang strategis.
3)
Pungutan Liar
Praktek
pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi salah satu
kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini
tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya
setiap minggu atau setiap bulan.
4) Implikasi
Otonomi Daerah
Dengan
berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai
otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini
akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa
pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera
dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu, semangat
kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi
pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
5) Implikasi
Perdagangan Bebas
Sebagaimana
diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020
berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam
perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan
proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk
yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu
kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia
(HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair
oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu,
UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6) Sifat
Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian
besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai
produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata
lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan lama.
7) Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya
akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan
secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
8) Terbatasnya Akses Informasi
Selain
akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap
informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak
memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha
UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak
mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor.
Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk
bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses
terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
Badan Pusat Statistik
(2003) di dalam Sri Winarni (2006) mengidentifikasikan permasalahan
umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2) Kesulitan dalam
pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang
teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang
pengetahuan manajemen keuangan, dan (8) Iklim usaha yang kurang
kondusif (perijinan, aturan/perundangan).
Hasil
penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di dalam Sri
Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha 72,47
%, sisanya 27,53 % tidak ada masalah. Dari 72,47 % yang
mengalami kesulitan usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah
(1) Permodalan 51,09 %, (2) Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4)
Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93
%.
Persentase kesulitan
yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan permodalan
(51.09%). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan
permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan meminjam
ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke lembaga Non
bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, modal ventura,
lainnya.
Sedangkan permasalahan
yang dihadapi UMKM dalam mendapatkan kredit modal usaha antara lain
adalah (1) Prosedur pengajuan yang sulit 30,30 %, (2) Tidak
berminat 25,34 %, (3) Pelaku UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4) UMKM
yang tidak tahu prosedur 14,33 %, (5) Suku bunga tinggi 8,82 %,,
(6) Proposal ditolak (1,93 %).[4]
2. Kebijakan Pemerintah Serta Peran BI Dalam Memperdayakan
UMKM
Untuk
memberdayakan UMKM diperlukan peranan pemerintah, lembaga-lembaga keuangan dan
pelaku usaha. Peranan pemerintah disini adalah memutuskan kebijakan-kebijakan
yang memberikan iklim kondusif bagi dunia usaha sedangkan lembaga keuangan
disini jelas sebagai perantara keuangan untuk mengoptimalkan pemerdayaan UMKM
dan pelaku usaha itu sendiri memiliki peranan pokok bagi perkembangan UMKM
karena pelaku usaha memiliki potensi yang kuat dalam pertumbuhan UMKM.
Menurut
Udang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Tujuan pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah adalah sebagai berikut:[5]
a. Mewujudkan struktur perekonomian nasional
yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan;
b. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
c. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan
pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Mengingat UMKM merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia maka untuk tujuan
tersebut UMKM dalam jangka panjang harus didorong untuk mampu bersaing dalam
pasar global. Tetapi sampai sekarang ini keberpihakan pemerintah dinilai masih
belum optimal. Kebijakan dibidang perbankan merupakan salah satu bukti ketidakadilan.
Kebijakan tersebut melupakan kondisi kelompok UMKM yang sebagian besar termasuk
dalam kategori miskin dan berpengetahuan rendah. Demikian juga dalam
penggolongan atau mengelompokan usaha berdasarkan kriteria pemilikan aset dan
omset yang melahirkan istilah usaha mikro, kecil dan menengah. Pengelompokan
ini belum sepenuhnya ditindaklanjuti dengan pemberian kesempatan usaha yang
sesuai dengan potensi dan kemampuan kelompok usaha tersebut. Akibatnya ada kecenderungan
pengelompokan ini malah mempersempit ruang gerak mereka. Untuk menggerakan
ekonomi rakyat sudah waktunya memutar jarum kompas kearah pemberian kesempatan
dan penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi UMKM dan koperasi. Komitment ini
tidak saja diperlukan dikalangan pengambil kebijakan, tetapi harus menjadi
komitment semua pihak termasuk para, pakar dan praktisi.
Soeharto (2001:90) mengemukakan bahwa kekuatan dunia usaha nasional
sangat tergantung dari perilaku ekonomi ini yakni usaha menengah-kecil dan koperasi.
Jika diamati, sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa UKM masih dihadapkan
pada berbagai kendala/ kelemahan baik secara internal dan eksternal. Khusus bagi usaha kecil, salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk memberdayakan UK adalah melalui Undang-Undang
UK. Kata pemberdayaan yang diambil dari bahasa inggris empowering menjadi
kata kunci dalam menumbuhkembangkan UK agar menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri. Pemberdayaan diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah,
dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk (a) penumbuhan iklim usaha yang
kondusif dan (b) pembinaan dan pengembangan yang di dalamnya berupa bimbingan
dan bantuan perkuatan.[6]
Iklim usaha yang sedang dan akan terus ditumbuhkan oleh pemerintah
meliputi tujuh aspek yaitu: pendanaan, persaingan, prasarana, informasi,
kemitraan, perizinan, dan perlindungan. Dalam aspek pendanaan sudah ada 23 skim
kredit perbankan yang dikeluarkan pemerintah, diantaranya: KCK, KKPA, KUT, Dana
bergulir, KUK, dan KKU. Untuk leboih meningkatkan potensi dan produktivitas
pengusaha kecil pada saat ini pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan pembiayaan
perbankan berupa kredit modal kerja bagi usaha kecil dan menengah (KMK-UKM)
yang bersumber dari dana BUMN , dana jamsostek dan dana pensiunan yang efektif
disalurkan mulai 1 Desember 1997.
Untuk mengatasi masalah keterbatasan modal, saat ini juga juga
telah hadir Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga Keuangan Mikro atau Micro
Finance Institution merupakan lembaga yang melakukan kegiatan penyediaan
jasa keuangan kepada pengusaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan
rendah yang tidak terlayani oleh Lembaga Keuangan formal dan yang telah
berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Micro finance didefinisikan sebagai
pelayanan kredit dibawah Rp 50 juta. Bagaimanapun, target atau segmen micro
finance senantiasa bersentuhan dengan masyarakat yang relatif miskin atau
berpenghasilan rendah. [7]
Dalam pembinaan dan pengembangan baik bagi usaha kecil maupun
termasuk juga bagi usaha menengah, pemerintah berusaha meningkatkan wawasan dan
kemampuannya agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Ada dua pendekatan
prinsipil yang dilakukan pemerintah dalam kaitan ini. Pertama, bagi
usaha kecil yang memiliki omset kurang dari Rp 50 juta diarahkan untuk dapat
membentuk wadah atau bergabung dalam koperasi. Melalui wadah ini akan terjadi
sinergi kekuatan yang mampu meningkatkan posisi tawarnya dan sekaligus menjadi
kekuatan dalam daya saingnya. Kedua, adalah bagi UKM yang beromset diata
Rp 50 juta tetap dikembangkan sebagai usaha individu dan diarahkan untuk
menjadi uusaha yang tangguh dan mandiri dengan pendekatan kemitraan,
kewitausahaan dan cerdas teknologi.
Untuk mempercepat berkembangnya UKM, pemerintah menyadari
pentingnya peningkatan kualitas SDM yang antara lain ditempuh melalui program
Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) dan Inkubator Teknoloogi dan bisnis. Pada saat
ini, di seluruh Indonesia sudah ada 26 KKB di 23 propinsi dengan target binaan
591 PK mandiri dan 579 PM. Dari target tersebut sudah berhasil dibina sebanyak
341 pengusaha kecil mandiri dan 265 pengusaha menengah. Selain melalui KKB ini
juga dilakukan pemagangan sebanyak 1000 orang pengusaha ke Taiwan selama dua
tahun. Selanjutnya, pengembangan melalui incubator teknologi dan bisnis telah
dirintas 11 inkubator.
Walaupun sudah banyak fasilitas yang disediakan baik oleh
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha, namun UKM masih belum memiliki daya
saing yang kuat. Hal ini karena belum adanya focus tentang sector binaan yang
jelas. Apalagi jumlah UKM yang begitu besar dengan perlakuan yang sama
akibatnya penekanan pembinaan kurang focus sehingga UKM sulit berkembang dengan
cepat. Dalam hal ini, mungkin ada baiknya melakukan focus pembinaan, misalnya,
pada sector industry atau yang berorientasi ekspor yyang mampu memberikan efek
pengganda bagi sector lainnya.
Daya saing bagi UKM adalah penting guna dapat eksis dalam
perdagangan bebas. Untuk meningkatkan daya saing UKM beberapa upaya telah
dilakukan oleh pemerintah, diantaranya melalui penumbuhan ikliim yang kondusif
dan dengan binaan dan pengembangan. Namun, upaya ini dirasakan masih kurang
focus karena tingkat keragaan UKM yang besar tidak bisa diperlakukan secara
general. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang dikembangkan di Singapura
dan Taiwan ada baiknya untuk dipertimbangkan guna diterapkan di Indonesia
melalui penyesuaian. [8]
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa dengan
diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, dimana kebijakan Bank Indonesia dalam
membantu pengembangan UMKM mengalami perubahan paradigma yang cukup mendasar
karena Bank Indonesia tidak dapat lagi memberikan bantuan keuangan atau Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), sehingga peranannya dalam pengembangan UMKM
berubah menjadi tidak langsung. Pendekatan yang digunakan kepada UMKM bergeser
dari development role menjadi promotional role. Pendekatan yang memberikan
subsidi kredit dan bunga murah sudah bergeser kepada pendekatan yang lebih
menitikberatkan pada kegiatan :[9]
·
Pelatihan,
dengan tujuan : (a) meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta mendorong Bank
dan Lembaga Pembiayaan UMKM dalam menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada
UMKM; (b) meningkatkan pengetahuan dan kemampuan Lembaga Penyedia Jasa (Business
Development Service Provider) agar mampu memfasilitasi akses UMKM terhadap
pembiayaan dan menjadi mitra Bank dalam upaya pengembangan UMKM melalui
penyaluran dana dari bank atau lembaga keuangan kepada UMKM
·
Penelitian,
terutama yang diarahkan untuk mendukung penetapan arah dan kebijakan Bank
Indonesia dalam rangka untuk menggali potensi sektor UMKM di tiap-tiap daerah
dan pemberian bantuan teknis dalam rangka mendorong pengembangan UMKM yang
sesuai dengan kebutuhannya.
·
Penyediaan
dan penyebarluasan informasi, dengan tujuan memberikan masukan kepada UMKM,
perbankan dan pihak lainnya yang terkait, dalam rangka penyediaan informasi dan
data perkembangan UMKM. Penyebarluasan informasi dilakukan melalui media cetak,
media elektronika dan sosialisasi. Khusus untuk sosialisasi dapat dilakukan
dalam bentuk pertemuan, seminar, lokakarya, pameran dan bazaar intermediasi
perbankan.
Upaya-upaya lain yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan
sektor riil dan UMKM adalah :
·
Penciptaan
iklim usaha yang kondusif, dalam hal ini pemerintah perlu mengupayakan
terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan mengusahakan ketenteraman
dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan
pajak dan regulasi-regulasi lainnya
·
Perlindungan
usaha jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang
merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang
bermuara kepada saling menguntungkan antar pihak.
·
Membentuk
lembaga khusus atau asosiasi, sebagai upaya mengkoordinasikan semua kegiatan
yang berkaitan dengan penumbuhkembangan UKM, jaringan informasi dan berfungsi
untuk mencari solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun
eksternal yang dihadapi oleh UKM.
·
Pengembangan
kemitraan dan kerjasama yang setara, antara UKM dengan dunia usaha yang
berskala Korporasi dengan mediasi oleh Pemerintah untuk menghindarkan
terjadinya monopoli dalam usaha, memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis
yang lebih efisien serta menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang
terkait dengan perkembangan usaha. Dengan demikian UKM akan mempunyai kekuatan
dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya.
3.
Strategi
Pengembangan UMKM
Dalam menghadapi krisis ekonomi seperti saat ini Suryana (2001)
mengemukakan bahwa teori dynamic dan teori resource-based strategy sangat
sesuai biloe diterapkan pada pengembangan UKM nasional. Resource-based
strategy adalah strategi perusahaan yang memanfaatkan sumber daya internal
yang superior untuk mencapai keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Akibatnya perusahaan kecil tidak lagi tergantung pada strategi kekuatan pasar
melalui monopoli dan fasilitas pemerintah. Dalam strategi ini UKM mengarah pada
skill khusus secara internal yang bisa menciptakan produk inti yang unggul
untuk memperbesar pangsa manufaktur.[10]
Strategi pengembangan UKM antara lain adalah kemitraan, bantuan
keuangan, dan modal ventura.[11] Selain itu
upaya yang dapat dilakukan dalam rangka memberikan kemudahan bagi UMKM dalam
mendapatkan kredit modal usaha, antara lain:[12]
a.
Mengoptimalkan
peran Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB)
Konsultan
Keuangan Mitra Bank (KKMB) adalah lembaga atau bagian dari lembaga yang
memberikan layanan pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan kinerja Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Lembaga tersebut berbadan hukum dan bukan
lembaga keuangan serta dapat memperoleh fee dari jasa layanannya. Jasa yang diberikan adalah jasa konsultansi
dalam hal manajemen/analisis keuangan agar terjadi kemitraan dengan bank atau
terjadinya penyaluran dana bank kepada UMKM tersebut. Dalam hal ini termasuk
pendampingan pada saat menyusun proposal kredit, menghubungkan ke lembaga
pembiayaan/bank dan melakukan monitoring sejak saat pencairan kredit sampai
pada pelunasan kredit sesuai jangka waktu yang diperjanjikan.
Fungsi dan
tanggung jawab KKMB adalah melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap UMKM.
Pembinaan disini dimaksudkan adalah merupakan satu kesatuan proses yang di dalamnya
mencakup tiga unsur yaitu menumbuhkan, memelihara dan megembangkan. Proses pelaksanaan pembinaan oleh KKMB
dilakukan secara partisipatif, bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan
pembinaan (materi, metode dll) harus selalu bertumpu pada kebutuhan UMKM, oleh
karenanya hubungan kerja antara KKMB dengan UMKM bukanlah sebagai atasan dan
bawahan atau hubungan antara pembina dengan yang dibina. Hubungan yang terjalin
adalah sejajar dan KKMB disini berperan sebagai motivator bagi UMKM.
Bentuk kegiatan
pembinaan dan pengembangan disini adalah melakukan pendampingan terhadap UMKM
dengan memberikan bantuan teknis berupa pelatihan sesuai kebutuhan, arahan dan
konsultasi. Untuk melakukan kegiatan tersebut seorang KKMB dalam pelaksanaannya
di lapangan berpedoman pada beberapa langkah sebagai berikut :
• Melakukan identifikasi pada calon nasabah UMKM
di wilayah/sentra/populasi usaha;
• Menentukan kelompok bila memperoleh calon
nasabah mikro dalam rangka efisiensi;
• Menyusun proposal kredit (usaha mikro) atau Kelayakan
usaha ( usaha kecil dan menengah);
• Menghubungkan nasabah UMKM tersebut dengan
perbankan;
• Melakukan monitoring dan pendampingan pasca
penerimaan kredit
Diharapkan
dengan adanya optimalisasi peran dari KKMB,
persyaratan dan prosedur yang ditetapkan oleh Lembaga penyalur kredit,
tidak lagi menjadi kendala bagi UMKM dalam mendapatkan kredit modal usaha. Keberhasilan dari pendekatan ini akan nampak
dari meningkatnya jumlah UMKM yang bankable dan memperoleh kredit modal usaha,
dan mampunya KKMB beroperasi secara bisnis (saling menguntungkan) sehingga
dapat membiayai dirinya sendiri.
b.
Mensosialisasikan
Pola Pembiayaan Bagi Hasil atau Pembiayaan Modal Ventura
Bagi beberapa
UMKM yang merasa terbebani dengan suku bunga tinggi, kebutuhan modal usaha dapat diajukan ke
lembaga pembiayaan yang menerapkan pola kerjasama dengan bagi hasil. Dimana return yang diberikan UMKM sesuai
dengan hasil yang didapatkan UMKM pada saat itu sehingga UMKM tidak terbebani
dengan tingkat suku bunga yang tinggi.
Lembaga pembiayaan yang menerapkan pola bagi hasil adalah Perusahaan
Pembiayaan Modal Ventura dengan konsep bagi hasil murni ataupun bagi hasil
terkelola.
Dari segi
kharakteristik Modal Ventura yang bersifat Gain Risk (cenderung lebih berani
mengambil resiko), pembiayaan ini
memiliki prosedur yang lebih longgar dan lebih mengutamakan prospek dan potensi
usaha UMKM dalam pengembangannya.
Pembiayaan ini dapat dilakukan dalam jangka waktu pendek maupun panjang
(maksimal 4 tahun).
Pembiayaan
Modal Ventura tidak hanya menyalurkan dana-dana yang berasal dari pemegang
saham dan pinjaman perbankan tetapi juga ikut menyalurkan dana-dana program
pemerintah dengan rate yang lebih murah daripada rate kredit komersil. Adapun dana-dana program yang disalurkan oleh
perusahaan Modal Ventura antara lain seperti dana LPDB (Lembaga Pengelola Dana
Bergulir) dan Dana PKBL (Program
Kemitraaan Bina Lingkungan) dari PT. Bahana Artha Ventura dan LPEI (Lembaga
Pengelola Ekspor Indonesia).
Diharapkan
dengan digiatkannya sosialisasi pembiayaan modal ventura, UMKM yang memiliki permasalahan dalam hal
bunga kredit tetap mendapatkan kredit modal usaha baik dalam bentuk kerjasama
pembiayaan pola bagi hasil ataupun kredit program LPDB dan PKBL.
c.
Meningkatkan
peran serta Lembaga Penjaminan Kredit
Alternatif lain
yang dapat digunakan untuk mengatasi
permasalahan perkreditan UMKM adalah skim penjaminan kredit. Dalam skim
tersebut, Bank dan Perusahaan Penjamin membuat suatu perjanjian kerjasama
penjaminan kredit. UMKM yang membutuhkan tambahan modal dari lembaga penyalur
kredit mengajukan penjaminan kepada Perusahaan Penjamin dan mengajukan kredit
kepada Bank. Apabila hasil analisis kelayakan, usaha dinyatakan layak
(feasible), namun tidak layak dari sudut pandang perbankan karena
ketidakcukupan agunan (tidak bankable), maka bank mengajukan penjaminan kepada
Perusahaan Penjamin. Selanjutnya
Perusahaan Penjamin akan melakukan analisa kelayakan. Apabila Kredit tersebut
dinyatakan layak untuk dijamin, maka Perusahaan Penjamin akan memberikan
penjaminan kepada usaha kecil yang dinyatakan dalam bentuk Sertfikat
Penjaminan. Atas penjaminan yang diberikan tersebut, usaha kecil yang dijamin
harus membayar fee penjaminan kepada Perusahaan Penjamin.
Apabila kredit
yang dijamin mengalami kemacetan, maka Perusahaan Penjamin akan melakukan
pengecekan, apakah kondisi yang ada memenuhi persyaratan dan ketentuan yang
telah disepakati oleh Perusahaan Penjamin dengan Bank. Apabila segala
persyaratan telah terpenuhi, maka Perusahaan Penjamin akan melakukan pembayaran
klaim. Selanjutnya, Perusahaan Penjamin berhak mendapatkan piutang subrogasi
sebesar porsi kredit yang dijamin. Setelah
pembayaran klaim dilakukan, Bank masih tetap harus melakukan penagihan
sampai dengan hutang tersebut lunas. Hasil penagihan tersebut dibagi secara
proporsional antara Perusahaan Penjamin dan Bank sesuai dengan persentase
penjaminan kredit. Dengan adanya
penjaminan kredit tersebut, maka :
• Pengajuan kredit oleh usaha kecil yang
sebelumnya tidak memenuhi persyaratan perbankan menjadi bankable, sehingga UMKM
dapat mengembangkan usahanya.
• Risiko Bank menjadi berkurang, karena
sebagian telah dialihkan menjadi risiko Perusahaan Penjamin. Dengan
terpenuhinya kecukupan agunan dan berkurangnya risiko, maka kemungkinan
terjadinya penolakan proposal pinjaman menjadi lebih kecil.
• Perusahaan Penjamin juga melakukan kelayakan
dan pengendalian atas kredit yang dijamin. Dengan adanya dan pengendalian dari
dua pihak yang berlainan diharapkan risiko dapat lebih diminimalkan.
• Perusahaan Penjamin akan mendapatkan
pendapatan fee penjaminan.
Diharapkan
dengan adanya skim penjaminan kredit bagi UMKM ini, maka para UMKM yang
mengalami permasalahan dalam hal agunan dapat teratasi karena adanya jaminan
dari lembaga penjamin kredit. Pihak
lembaga penyalur kredit pun akan merasa kebih aman dalam menyalurkan kreditnya
kepada UMKM.
D.
Kesimpulan
1. Permasalahan
umum yang dihadapi oleh UMKM adalah
· Kurang
permodalan,
· Kesulitan
dalam pemasaran,
· Persaingan
usaha ketat,
· Kesulitan
bahan baku,
· Kurang
teknis produksi dan keahlian,
· Keterampilan
manajerial kurang,
· Kurang
pengetahuan manajemen keuangan,
· Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan,
aturan/perundangan).
2. Untuk memberdayakan UMKM diperlukan peranan
pemerintah, lembaga-lembaga keuangan dan pelaku usaha. Peranan pemerintah
disini adalah memutuskan kebijakan-kebijakan yang memberikan iklim kondusif
bagi dunia usaha sedangkan lembaga keuangan disini jelas sebagai perantara
keuangan untuk mengoptimalkan pemerdayaan UMKM dan pelaku usaha itu sendiri
memiliki peranan pokok bagi perkembangan UMKM karena pelaku usaha memiliki
potensi yang kuat dalam pertumbuhan UMKM.
3. Strategi pengembangan UKM antara lain adalah kemitraan, bantuan
keuangan, dan modal ventura.
E.
Daftar
Pustaka
Louis E. Boone/
David L. Kurtz. 2010. Pengantar Bisnis Kontemporer Edisi 13, Buku 1. Jakarta:
Penerbit Salmeba Empat.
Soeharto Prawirokusumo. 2001. Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan,
dan Strategi) Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Tiktik Sartika Partomo dan Abdurrahman Soejoedono. 2004. Ekonomi
Skala Kecil/ Menengah & Koperasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
UUD
No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
http://usahamodalkecil31.blogspot.com/2012/08/kendala-usaha-kecil-menengah-dan-solusi.html diakses 15 Mei 2015
https://kalselventura.wordpress.com/artikel-modal-ventura/makalah-strategi-pengembangan-umkm-dengan-mengatasi-permasalahan-umkm-dalam-mendapatkan-kredit-usaha/ diakses 15 Mei 2015.
https://yudhianggoro.wordpress.com/2011/12/28/paper-peran-bi-dalam-mendorong-pemberdayaan-umkm/ diakses
tanggal 15 Mei 2015
[1] Tiktik
Sartika Partomo dan Abdurrahman Soejoedono, Ekonomi Skala Kecil/ Menengah
& Koperasi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2004), 22.
[2] Louis
E. Boone/ David L. Kurtz, Pengantar Bisnis Kontemporer Edisi 13, Buku 1, (Jakarta:
Penerbit Salmeba Empat, 2010), 161.
[3] http://usahamodalkecil31.blogspot.com/2012/08/kendala-usaha-kecil-menengah-dan-solusi.html diakses 15 Mei 2015
[6] Soeharto
Prawirokusumo, Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan, dan Strategi) Edisi
Pertama, (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2001), 91.
[7] Supriyanto,
PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UMKM) SEBAGAI SALAH SATU
UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN, No. 1, April 2006 (Yogyakarta, 2006), hlm
2.
[9]https://yudhianggoro.wordpress.com/2011/12/28/paper-peran-bi-dalam-mendorong-pemberdayaan-umkm/ diakses tanggal
15 Mei 2015
[10] Tiktik
Sartika Partomo dan Abdurrahman Soejoedono, Ekonomi Skala Kecil/ Menengah
& Koperasi… 29.
21.23 | | 5 Comments
Langganan:
Postingan (Atom)