INKAR AL-SUNNAH
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa
literatur masyarakat islam di berbagai Negara terdapat kelompok- kelompok yang
meragukan Hadist sebagai sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Mereka menolak bahwasanya kaum muslimin perlu berpegang pada Hadist (Sunnah)
yang dalam pandangan mereka cukuplah
Al-Qur’an sebagai sumber yang mutlak dalam agama islam.
Namun perlu
kita ketahui bahwasannya di dalam Al-Qur’an membahas masalah-masalah hukum yang
global (mujmal), dan untuk memperjelas masalah mujmal tersebut
digunakanlah hadist sebagai alat untuk memperjelas maksud dari ayat Al-Qur’an
tersebut sehingga menjadi terinci (tafshil) dan lebih mudah kita pahami.
Mayoritas ulama
Hadist menegaskan bahwa Sunnah merupakan sinonim dari hadist, dengan sabda Nabi
SAW:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ
بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي
“Aku tinggalkan untukmu dua perkara:
kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah
(Al-Qur’an) dan Sunnahku”(HR. Al-Hakim dan Malik)
Berdasarkan
sabda nabi tentang kitab dan sunnah di atas, maka pada dasarnya “inkar
al-sunnah” tidak dapat dibenarkan.
Dari sinilah
kami menyusun makalah ini dengan tujuan agar lebih mengetahui secara mendalam
tentang “inkar al-sunnah” yang ada di kalangan umat islam. Begitu pula harapan
kami dengan makalah ini semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat di
kehidupan kita, dan menjadi investasi di akhirat kelak. Amien…..
B. Rumusan Maslah
1. Apakah
pengertian Inkar Al-Sunnah?
2. Bagaimana
sejarah kemunculan dan latar belakangnya?
3. Bagaimana
argumentasi Inkar Al-Sunnah dan bantahan para ahli?
4. Bagaimana
Inkar Al-Sunnah di Indonesia?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian Inkar
Al-Sunnah
2.
Untuk mngetahui sejarah kemunculan
dan latar belakangnya
3.
Untuk mengetahui argumentasi Inkar
Al-Sunnah dan bantahan para ahli
4.
Untuk mengetahui Inkar Al-Sunnah di
Indonesia
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inkar Al-Sunnah
1.
Arti Bahasa
Kata inkar “al-sunnah”
terdiri dari dua kata, yaitu “inkar” dan “sunnah.” Kata “inkar”
berasal dari akara kata bahasa Arab: أَنْكَرَ- يُنْكِرُ- إِنْكَارًا yang mempunyai beberapa arti, diantaranya: “tidak mengakui dan
tidak menerima baik di lisan dan di hat, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu
dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati[1],
misalnya firman Allah :
فَدَخَلُوْا
عَلَيْهِ فَعَرَفَهُمْ وَهُمْ لَهُ مُنْكِرُوْنَ (58)
“Lalu mereka (saudara-saudara Yusuf) masuk ke (tempat)
nya. Maka Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya”.
(QS.Yusuf(12):58)
يَعْرِفُوْنَ نِعْمَةَ اللهِ ثُمَّ يُنْكِرُوْنَهَا
وَأَكْثَرُهُمُ الكَافِرُوْنَ (83)
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian
mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir. (QS.An-Nahl
(16):83)
Al-Askari
membedakan antara makna Al-Inkar dan Al-Juhdu. Kata Al-Inkar
terhadap sesuatu yang tersembunyi dan tidak disrtai pengetahuan, sedangkan Al-Juhdu
terhadap sesuatu yang tampak dan disertai dengan pengetahuan[2].
Dengan demikian, bisa jadi orang yang mengingkari sunnah sebagai hujjah di
kalangan orang yang tidak banyak pengetahuannya tentang ulumul hadist.
Dari beberapa kata “inkar” di
atas dapat disimpulkan bahwa inkar secara etimologis diartikan menolak,
tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan bathin atau lisan
dan hati yang dilatarbelakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau factor lain,
misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan, dan lain-lain. Sedangkan kata
“sunnah” ialah “Segala yang dinukilkan/bersumber dari Nabi Muhammad SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir (ketetapan), tabi’at, budi
pekerti, perjalanan hidup, baik yang terjadi sebelum Nabi Muhammad diutus
menjadi Rasul maupun sesudahnya.
Orang yang menolak sunnah sebagai hujjah dalam beragama oleh umumnya ahli hadist disebut ahli bid’ah dan menuruti
hawa nafsunya (أَهْلُ
الأَهْوَاءِ وَ البِدْعِ). Mereka ahli bid’ah yang
mengikuti kemauan hawa nafsu, bukan kemauan hati dan akal pikirannya. Mereka
itu kaum Khawarij, Mu’tazilah, dan lain-lain, karena mereka itu umumnya menolak
sunnah[3].
Gelar ini diberikan kepada mereka yang menempati sekte-sekte tersebut, karena mereka
ber-istinbath, membela dan mempertahankan untuk hawa nafsu. Sebagaimana ahlu
sunnah sebagai penolong sunnah dan pembelanya, ber-istinbath sesuai dengan
sunnah[4]
2.
Arti Menurut Istilah
Ada beberapa definisi inkar sunnah yang sifatnya masih sangat
sederhana pembatasannya, diantara sebagai berikut.
1.
Paham yang timbul dalam masyarakat
islam yang menolak hadist atau sunnah sebagai sumber ajaran agama islam kedua
setelah Al-Qur’an[5].
2.
Suatu paham yang timbul pada
sebagian minoritas umat islam yang menolak dasar hukum islam dari sunnah shahih,
baik sunnah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik
secara totalitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa
ada alasan yang dapat diterima[6]
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa ingkar sunnah adalah
paham atau pendapat perorangan atau paham kelompok, bukan gerakan dan aliran,
ada kemungkinan paham ini dapat menerima sunnah selain sebagai sumber hukum
islam, misalnya sebagai fakta sejarah, budaya, tradisi, dan lain-lain. sunnah
yang diingkari adalah sunnah yang shahih, baik secara substansial, yaitu sunnah
praktis pengalaman Al-Qur’an (Sunnah Amaliyah) atau sunnah formal yang
dikodifikasikan para ulama meliputi perbuatan, perkataan, dan persetujuan Nabi
SAW. Bisa jadi mereka menerima sunnah secara substansial, tetapi menolak sunnah
formal atau menolak seluruhnya.
Paham inkar sunnah bisa jadi menolak keseluruhan, baik sunnah mutawatir
dan ahad atau menolak ahad saja atau sebagian saja. Demikian juga
penolakan sunnah sunnah tidak didasari alasan yang kuat, jika dengan alasan
yang dapat diterima oleh akal yang sehat, seperti seorang mujtahid yang
menemukan dalil yang lebih kuat dari hadist yang ia dapatkan, atau hadist itu
tidak sampai kepadanya, atau karena kedha’ifannya, atau karena ada tujuan
syar’ie yang lain[7],
maka tidak digolongkan ingkar sunnah.
Ada tiga jenis kelompok inkar al-sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadist-hadist Rasulullah
SAW secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadist-hadist yang
tak disebutkan dalam Al-Qur’an secara tersurat ataupun tersirat. Ketiga,
kelompok yang hanya menerima hadist-hadist mutawatir (diriwayatkan oleh
banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan
menolak hadist-hadist ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun
shahih. Mereka beralasan dengan ayat:
وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الحَقِّ شَيْأً
(النجم:28)
Sesungguhnya persangaan itu tidak berguna
sedikit pun terhadap kebenaran.
(QS.An-Najm (53):28)
Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu
saja menurut penafsiran model mereka sendiri[8].
B. Sejarah Kemunculan Dan Latar Belakang Inkar Al-Sunnah
Selain berbagai ajaran dan pemahaman yang membuat para inkar
al-sunnah hanya mau beriman kepada Al-Qur’an, dan menerima Al-Qur’an saja sebagai
satu-satunya kitab sumber syari’at, mereka juga mempunyai alasan kenapa menolak
sunnah Rasulullah SAW, meskipun pengakuan mereka sebetulnya yang mereka tolak
adalah hadist-hadist yang dinisbatkan kepada Nabi, sebab hadist-hadist tersebut
menurut mereka merupakan perkataan yang dikarang oleh orang-orang setelah Nabi.
Dengan kata lain hadist-hadist tersebut adalah buatan manusia.
Setidaknya ada sembilan alasan mengapa mereka menolak hadist-hadist
Nabi, yaitu:
1.
Yang dijamin Allah hanya Al-Qur’an,
bukan Sunnah
2.
Nabi sendiri melarang penulisan
hadist
3.
Hadist baru dibukukan pada abad
kedua hijriyah
4.
Banyak pertentangan antara hadist
satu dengan hadist yang lain
5.
Hadist adalah buatan manusia
6.
Hadist bertentangan de ngan
Al-Qur’an
7.
Hadist merupakan sandaran dari umat
lain
8.
Hadist membuat umat terpecah-belah
9.
Hadist membuat umat islam mundur dan
terbelakang[9]
Selain itu yang melatarbelakangi penolakan mereka terhadap sunnah
adalah adalah ketidak fahaman
mereka sendiri tentang ilmu hadits baik pada masa lalu maupun sekarang.
Termasuk didalamnya adalah kelompok Inkar al-Sunnah yang ada di Indonesia dan
Malasyia. Selain itu ketidaktahuan mereka atas makna al-Qur’an, ilmu tafsir dan
bahasa Arab juga mendorong munculnya kelompok inkar al-sunnah tersebut[10].
Sejarah inkar
perkembangan inkar al-sunnah hanya terjadi dua masa, yaitu masa klasik dan masa
modern. Menurut Prof. Dr. M. Musthafa Al-Azmi, sejarah inkar al-sunnah klasik
terjadi pada masa Asy-Syafi’ie (w.204 H) abad ke-2 H/7M, kemudian hilang dari
peredarannya selama lebih kurang 11 abad[11].
Kemudian pada abad modern inkar al-sunnah timbul kembali di India dan Mesir
dari abad 19 M/13 H sampai pada masa sekarang. Sedang pada masa pertengahan,
inkar al-sunnah tidak muncul kembali, kecuali Barat mulai meluaskan
kolonialismenya ke Negara-negara islam dengan menaburkan fitnah dan mencoreng
citra agama islam.
1.
Inkar Al-Sunnah
Klasik
Pada
masa sahabat, seperti diturunkan oleh Imam Al –Hasan Al-Bashri (w. 110 H), ada
sahabat yang kurang begitu memperhatikan kedudukan sunnah Nabi SAW, yaitu
ketika sahabat nabi SAW, Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis. Tiba-tiba, ada seorang yang meminta agar ia
tidak usah mengajarkan hadis, tetapi cukup mengajarkan Al-Qur’an saja. Jawab
Imran “Tahukah anda, seandainya anda dan teman-teman hanya memakai Al-Quran,
apakah anda dapat menemukan dalam Al-Qur’an bahwa shalat dhuhur itu empat rakaat,
shalat ashar empat rakaat, dan shalat Maghrib tiga rakaat? Apabila anda hanya
memakai Al-Qur’an dari mana anda tahu bahwa tawaf (mengelilinging ka’bah) dan
Sa’i antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali?”
Mendengar
jawaban itu, orang tersebut berkata, “Anda telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan,
Allah selalu menyadarkan anda.” Akhirnya sebelum wafat, orang itu menjadi ahli
Fiqh[12].
Hal
yang serupa juga pernah terjadi pada Ummayah bin ‘Abdillah bin Khalid (w.87 H),
ketika ia mencoba mencari semua permasalahan dalam Al-Qur’an saja. Karena tidak
menemukan jawaban atas masalah yang dihadapinya, akhirnya ia bertanya kepada
‘Abdullah bin Umar (w. 74 H). Ia berkata, “Didalam Al-Qur’an, saya hanya
menemukan keterangan tentang shalat di
rumah dan shalat dalam peperangan (shalat
al-khauf), sedangkan masalah shalat dalam perjalanan tidak ditemukan. ‘Abduillah
bin umar menjawab, “Wahai kemenakanku, Allah telah mengutus Nabi Muhammad SAW
kepada kita, sementara kita tidak mengetahui apa-apa. Karena itu, kita kerjaan
apa saja yang kita lihat Nabi SAW mengerjakannya[13].
Begitulah,
semakin jauh dari masa Nabi SAW, semakin banyak orang-orang yang mencari
pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi hanya dalam Al-Qur’an. Bahkan,
tokoh ahli hadis Ayyub As-Sakhtiyani (w. 131 H) berkata, “Apabila anda
mengajarkan hadist kepada seseorang, kemudian ia berkata, ‘Ajarilah kami dengan
Al-Qur’an saja, tidak usah memakai hadist, ketahuilah bahwa orang tersebut
adalah sesat dan menyesatkan[14].
Agaknya
gejala-gejala ingkar as-sunnah seperti di atas, masih merupakan sikap-sikap
individual, bukan merupakan sikap kelompok atau mahzhab, meskipun jumlah mereka
dikemudian hari semakin bertambah. Suatu hal yang patut di catat, bahwa
gejala-gejala itu tidak terdapat di negeri-negeri islam secara keseluruhan,
melainkan secara umum terdapat di Irak. Karena ‘Imran bin Hushain dan Ayyub
As-Sakhtiyani, tinggal di Bashrah Irak. Demikian pula, orang-orang yang
disebutkan oleh Imam Syafi’ie sebagai pengingkar sunnah juga tinggal di Bashra.
Karena itu, pada masa itu tampaknya di Irak terdapat faktor-faktor yang
menunjang timbulnya paham ingkar
As-sunnah[15].
Dan itulah gejala-gejala ingkar as-sunnah yang muncul di kalangan
para sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriah, muncul pula para
kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syariat Islam, di
samping itu pula ada yang menolak sunnah yang bukan Mutawatir saja[16].
a. Khawarij dan Sunnah
Dari
sudut kebahasaan, kata khawarij
merupakan bentuk jama’ dari kata kharij’ yang
berarti “sesuatu yang keluar”. Sementara menurut pengertian terminologis, khawarij adalah kelompok atau golongan
yang keluar dan tidak loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud khawarij disini adalah golongan tertentu yang
memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abu Tholib r.a.[17].
Apakah khawarij menolak Sunnah? Ada
sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para
sahabat sebelum kejadian fitnah (perang saudara antara Ali bin Abu Thalib r.a dan
Muawiyah r.a) diterima oleh kelompok khawarij.
Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai
orang-orang yang ‘adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka
berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun sesudah kejadian fitnah
tersebut, kelompok khawarij menilai
mayoritas sahabat Nabi SAW sudah keluar dari islam. Akibatnya, hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh para sahabat sesudah kejadian itu ditolak kelompok khawarij[18].
Ini adalah kesimpulan Mustafa As-Siba’i berdasarkan
sumber-sumber yang terdapat dalam kitab Al-Farq
Baina Al-Firaq karya ‘Abd.Al Qadir Al-Baghdadi (w. 429 H)[19].
Sementara Muhammad Mustafa Azami bependapat lain. Menurutnya, “Kesimpulan
As-Siba’i perlu ditinjau kembali. Masalahnya, kitab-kitab produk mazhab Khawarij saat ini tidak dapat ditemukan
lagi. Kitab-kitab mereka telah punah bersamaan dengan punahnya mazhab Khawarij itu sendiri, kecuali kelompok
Ibadhiyah yang merupakan salah satu kelompok dari kelompok-kelompok Khawarij yang jumlahnya mencapai dua
puluh kelompok[20].
Dalam
kitab-kitab produk kelompok Ibadhiyah, terdapat keterangan bahwa mereka
menerima hadis Nabawi. Mereka juga meriwayatkan hadis-hadis yang berasal dari
Ali bi Abu Thalib, ‘Aisyah istri Nabi SAW, Usman bin Affan, Abu Hurairah, Anas
bin Malik r.a, dan yang lain-lain. Karena itu tidak tepat jika dikatakan bahwa
semua golongan Khawarij menolak hadis[21].
b. Syi’ah dan Sunnah
Kata
Syi’ah berarti “para pengikut” atau
“para pendukung”. Sementara menurut pengertian terminologis, Syi’ah adalah golongan yang menganggap
bahwa ‘Ali bin Abu Thalib r.a lebih utama daripada khalifah sebelumnya (Abu
Bakar, ‘Umar dan Utsman), dan berpendapat bahwa Ahl-Bait (keluarga nabi SAW) lebih berhak menjadi khalifah daripada
yang lain[22].
Golongan
Syi’ah ini terdiri diri berbagai kelompok dan tiap-tiap
kelompok menilai kelompok lain sudah keluar dari islam. Sementara kelompok yang
masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna
‘asyariyah. Kelompok ini menerima hadis Nabawi sebagai salah satu sumber
syariat Islam. Hanya saja, ada perbedaan mendasar antara kelompok Syi’ah ini
dengan golongan Ahl-Sunnah (golongan
mayoritas umat islam), yaitu dalam hal penetapan hadis.
Golongan Syi’ah menganggap bahwa
sepeninggalan Nabi SAW, mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari islam), kecuali beberapa orang saja yang
menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu, golongan Syi’ah menolak
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syi’ah
hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl Al-Bait saja[23].
c. Mu’tazilah dan
Sunnah
Arti
kebahasaan dari kata mu’tazilah adalah
“sesuatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksud di sini adalah
golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat islam karena mereka
berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq
(berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir[24].
Adapun golongan Ahl As-Sunnah berpendapat
bahwa orang muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia
berdosa. Pendapat Mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan Al-Bashri, dan
dipelopori oleh Washil bin ‘Ata (w. 131 H)[25].
Ada
juga yang berpendapat yang menuturkan bahwa golongan ini disebut Mu’tazilah
karena, ketika Washil bin ‘Ata sedang berguru kepada Al-Hasan Al-Bashri di
masjid Bashrah, ada seseorang yang bertanya tentang status orang muslim yang
berbuat maksiat. Sebelum Al-Hasan Al-Bashri menjawab pertanyaan itu, Washil bin
‘Ata berkata, “Menurut saya orang tersebut berada di tempat antara dua tempat (manzilah baina manzilataini), bukan
mukmin dan bukan kafir.” Washil kemudian berdiri dan meninggalkan pengajian
Al-Hasan Al-Bashri. Ia pergi menuju suatu tiang di dalam masjid tersebut dan
menerangkan pendapatnya kepada orang-orang yang mengikutinya. Melihat kejadian
itu, Al-Hasan Al-Bashri berkomentar, “I’tazala
‘anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Akhirnya, kelompok
ini disebut Mu’tazilah[26].
Apakah
Mu’tazilah menolak Sunnah? Syeikh Muhammad Al-Khudhari berpendapat bahwa
Mu’tazilah menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam
Asy-Syafi’I (w. 204 H) dan kelompok yang mengingkari Sunnah. Sementara kelompok
atau aliran yang ada pada waktu itu di Bashrah Irak adalah Mu’tazilah.[27]
Prof. Dr. Al-Siba’i tampaknya sependapat dengan pendapat Al-Khudhari ini[28].
Imam
As-Syafi’I memamng menuturkan perdebatanya dengan orang yang menolak Sunnah,
namum beliau tidak menjelaskan siapa orang yang menolak Sunnah itu[29].
Sementara sumber-sumber yang menerangkan sikap Mu’tazilah terhadap Sunnah masih
terdapat kerancauan, apakah Mu’tazilah menerima Sunnah secara keseluruhan,
menolak keseluruhan, atau menerima sebagian Sunnah saja[30].
Ada
sebagian ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak Sunnah, yaitu Abu Ishaq
Ibrahim bin Sajyar, yang populer dengan sebutan Al-Nadhdham (w. 221-223 H). ia
mengingkari kemukjizatan Al-Quran dari segi susunan bahasanya, mengingkari
mukjizat Nabi Muhammad SAW, dan mengingkari hadis yang tidak dapat memberikan
pengertian yang pasti untuk dijadikan sumber syariat islam[31].
Apabila
pendapat An-Nadhdham ini dapat diartikan sebagai penolakan hadis, tampaknya hal
itu hanya pendapat pribadinya saja dan bukan merupakan pendapat resmi Mazhab
Mu’tazilah. Alasanya, ada ulama Mu’tazilah lain yang menerima hadis sebagai
sumber syariat islam, misalnya Abu Al-Hasan Al-Bashri dalam kitabnya Al-Mu’tamad[32]. Bahkan mayoritas ulama Mu’tazilah,
misalnya Abu Al-Hudzail Al-‘Allaf (w. 226 H) dan Muhammad bin Abd Al-Wahab
Al-Jubba’i (w. 303 H), justru menilai bahwa Al-Nadhdham telah keluar dari islam[33].
Oleh
karena itu, mazhab Mu’tazilah tidak dapat disebut sebagai pengingkar sunnah. Sebaliknya, mereka menerima sunnah
seperti halnya yang mereka kritik apabila hal itu berlawanan dengan pemikiran
mazhab mereka. Hal itu tidak berarti mereka menolak hadis secara keseluruhan[34].
d. Pembela Sunnah
Pada
masa klasik, Imam Asy-Syafi’i telah memainkan perannya dalam menundukan
kelompok pengingkar sunnah. Seperti telah disebutkan dalam kitabnya Al-Umm, beliau menuturkan pendebatanya
dengan orang yang menolak hadis. Setelah melalui perdebatan yang panjang,
rasional, dan ilmiah pengingkar Sunnah tersebut akhirnya tunduk dan menyatakan
menerima hadist[35]. Oleh
karena itu, Imam Asy- Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah).
Begitulah paham Ingkar As-Sunnah pada masa klasik. Ia
muncul pada masa sahabat, kemudian berkembang pada abad II H, dan akhirnya
lenyap dari peredaran pada akhir abad III H. dan baru abad XIV H, paham itu
muncul kembali ke permukaan sebagai akibat adanya kolonialisme yang melanda
umat islam.
Ada beberapa hal yang perlu
dicatat tentang ingkar As-Sunnah, yaitu
bahwa ingkar As-Sunnah klasik
kebanyakan masih merupakan pendapat perseorangan dan hal itu muncul akibat
ketidaktahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan Sunnah dalam islam. Karena
itu, setelah diberi tahu tentang urgensi ingkar
As-Sunnah, mereka akhirnya menerimanya. Sementara lokasi ingkar As-Sunnah klasik pada umumnya
berada di Irak, khususnya Bashrah[36].
2.
Inkar Al-Sunnah
Masa Kini
Sejak abad ke tiga sampai abad ke
empat belas Hijriah, tidak ada catatan sejarah yang menujukan bahwa kalangan
umat islam mendapat pemikiran-pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu
sumber syariat islam, baik secara perseorangan maupun kolompok. Pemikiran untuk
menolak Sunnah yang muncul pada abad I H (ingkar
as-sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad III H.
Pada abad
keempat belas Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali kepermukaan, dan
kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari ingkar as-sunnah klasik. Apabila ingkar as-sunnah klasik muncul di Bashra, Irak akibat ketidaktahuan
sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, ingkar as-sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh
pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia islam.
Apabila ingkar as-sunnah klasik masih banyak bersifat perorangan dan
tidak menamakan dan tidak menamakan dirinya mujtahid atau pembaharu, ingkar as-sunnah modern banyak yang bersifat kelompok yang
terorganisir, dan tokoh-tokohnya banyak yang mengklaim dirinya sebagi mujtahid
dan pembaharu.
Apabila
para pengingkar sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka
menyadari kekeliruannya, para pengingkar Sunnah, pada masa modern banyak yang
bertahan pada pendirianya, meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi
Sunnah dalam Islam. Bahkan, di antara mereka, ada yang tetap menyebarkan
pemikiranya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan
larangan resmi terhadap aliran tersebut[37].
Kapankah
aliran ingkar as-sunnah modern itu
lahir? Muhammad Mustafa Azami menuturkan bahwa ingkar as-sunnah modern lahir di kairo Mesir pada masa Syeikh
Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M). Dengan kata lain, Syeikh Muhammad
Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan ingkar as-sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi
catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa ‘ala As-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar[38].
Abu Rayyah menuturkan bahwa
Syeikh Muhammad Abduh berkata, “Umat Islam pada masa sekarang ini tidak
mempunyai imam (pimpinan) selain Al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam
pada masa awal sebelum terjadinya fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata,
“Umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab
yang diajarkan yang diajarkan di Al-Azhar dan sekenisnya) masih tetap
diajarkan. Umat islam tidak mungkin maju tanpa ada semangat yang menjiwai umat
islam abad pertama, yaitu Al-Qur’an. Semua hal selain Al-Qur’an akan menjadi
kendala yang menghalangi antara Al-Qur’an dan ilmu tentang amal”[39].
Abu Rayyah dalam menolak sunnah banyak
merujuk pada pendapat Syeikh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga
kedua tokoh ini-khususnya Syeikh Muhammad Abduh disebut-sebut sebagai
pengingkar Sunnah. Namun benarkah Syeikh Muhammad Abduh mengingkari Sunnah?
Seperti dituturkan di atas, Azami masih belum memastikan hal itu karena ia
hanya menukil pendapat Abu Rayyah yang belum dapat dipastikan kebenaranya.
Sementara
Mustafa As-Siba’i secara tidak langsung menuduh Syeikh Muhammad Abduh sebagai pengingkar sunnah. As-Siba’I menilai
Abduh sebagai orang yang sedikit perbendaharaan hadisnya[40]
Menurut
As-Siba’i, Syeikh Muhammad Abduh memiliki prinsip bahwa senjata yang paling
ampuh untuk membela islam adalah logika dan argument yang rasional. Berangkat
dari prinsip ini, Abduh kemudian mempunyai penilaianyang lain terhadap Sunnah
dan pada akhirnya dijadikan argument kuat oleh Abu Rayyah dalam mengingkari
Sunnah[41].
Sebenarnya keterangan Abduh, sebagaimana yang
dinukil Abu Rayyah masih perlu ditinjau kembali. Masalahnya, boleh jadi, Abduh
ketika mengatakan hal itu didorong oleh semangat yang menggebu-gebu untuk
membumikan Al-Qur’an sehingga ia berpendapat bahwa selain Al-Qur’an, tidak ada
gunanya sama sekali. Namun bagaimanapun, ia telah dituduh sebagai pengingkar
Sunnah.
Sementara
itu, ada suatu hal yang sudah kongkret tentang Syeikh Muhammad Abduh dalam
kaitanya dalam hadis, yaitu ia menolak hadis ahad untuk dijadikan dalil dalam masalah akidah (tauhid). Hadis ahad adalah hadis yang dalam setiap
jenjang periwayatannya (thabaqah
al-ruwat) hanya terdapat maksimal sembilan orang rawi. Sebaliknya, hadis mutawatir adalah hadis yang dalam setiap
jenjang periwayatannya terdapat minimal sepuluh orang rawi. Menurut Abduh,
untuk masalah-masalah akidah hanya dapat dipakai hadis-hadis mutawatir[42].
Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dalam ‘menolak’
sunnah ini diikuti oleh Taufiq Shidqi, yang menulis dua sebuah artikel dalam
majalah Al-Manar nomer 7 dan 12 tahun IX dengan judul “Islam
adalah Al-Qur’an itu sendiri”. Sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’an Taufiq
Shidiq mengatakan bahwa islam tidak memerlukan Sunnah[43].
Pendapat Taufiq Shidqi ini ditanggapi positif
oleh Sayyid Rasyid Ridha, antara lain dengan mengatakan, “Dalam masalah ini ada
suatu hal yang perlu dikaji ulang, yaitu apakah hadis yang mereka sebut sebagai
Sunnah Qauliyah itu merupakan agama dan syariat yang bersifat umum,
meskipun hal itu tidak merupakan aturan-aturan yang harus dikerjakan, khususnya
pada masa-masa awal? Apabila kita menjawab “Ya”, ada pertanyaan besar yang
perlu kita jawab, yaitu mengapa Nabi SAW justru melarang penulisan apapun
selain Al-Qur’an? Begitupula, para sahabat, mengapa mereka tidak menulis hadis,
bahkan para ulama dari kalangan mereka seperti para Khalifah juga tidak
terpanggil untuk memerhatikan dan melestarikan hadist?
Sayyid
Rasyid Ridha tampaknya sangat mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan, ia
berpendapat bahwa hadis-hadis yang sampai kepada kita dengan riwayat mutawatir, seperti jumlah rakaat shalat,
puasa, dan lain-lain, haarus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara
umum. Akan tetapi, hadis-hadis yang periwayatanya tidak mutawatir disebut aturan agama secara khusus dimana kita tidak
wajib menerimanya.
Begitulah
pendapat pemikiran Sayyid Rasyid tentang hadist. Namun demikian, belakangan ia
mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai pembela hadis. As-Siba’i
menuturkan, “Pada awalnya Sayyid Rasyid Ridha terpengaruh dengan pemikiran
gurunya, ia pun sedikit perbendarahannya dalam masalah hadis dan tidak banyak
mengetahui ilmu-ilmu hadis. Namun, sesudah Syeikh Muhammad Abduh wafat dan
Sayyid Rasyid Ridha menerima tongkat estafet pembaharuan, ia banyak mendalami
ilmu-ilmu fiqh, hadis, dan lain-lain, sehingga ia menjadi tempat bertanya umat
islam di seluruh dunia. Karena itu pengetahuan beliau tentang hadis semakin
dalam sehingga akhirnya ia menjadi pengibar panji-panji Sunnah di Mesir[44].
Babak
berikutnya, pada tahun 1929, Ahmad Amin menerbitkan buku Fajr Al-Islamy ang mengulas masalah hadis dalam suatu bahasan
khusus (bab IV pasal 2). Kemudian, pada tahun 1353 H (1933 M), Ismail Adham
mempublikasikan bukunya tentang sejarah hadis. Ia berkesimpulan bahwa
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab sahih (antara lain Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) tidak dapat dipertanggungjawabkan
sumbernya. Menurutnya hadis-hadis itu secara umum diragukan otentisitasnya[45].
Begitulah golongan Inkar
as-Sunnah terus menyebar ke
berbagai belahan bumi dimana Islam berkembang sebagai wujud adanya kekuatan
internal yang hendak melemahkan panji-panji kebesaran Islam, tak luputnya tanah
air tercinta ini.
C. Argumentasi Inkar Al-Sunnah Dan Bantahan Para Ahli
1.
Argumentasi
inkar al-sunnah
Sebagai suatu
paham atau aliran, inkar al-sunnah baik yang klasik maupun yang modern memiliki
argumen-argumen yang dijadikan pegangan oleh mereka. tanpa argumen-argumen itu,
barangkali pemikiran itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Berkut ini akan
dijelaskan argumen-argumen mereka dan sanggahan para ulama ahli hadist terhadap
mereka.
a)
Agama bersifat
konkret dan pasti
Mereka
berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti. Apabila
kita mengambil dan memakai sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti.
Al-Qur’an yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti, seperti
dituturkan dalam ayat berikut:
الم. ذلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيْهِ, هُدًى
لِلْمُتَّقِيْنَ (البقرة : 1-2)
Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada
keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah (2): 1-2)
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ
الحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ (فاطر :31)
Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab
sebelumnya. (QS. Al-Faathir (35):31)
Sementara apabila agama islam itu bersumber dari hadist, ia tidak akan
memiliki kepastian sebab keberadaan hadist, khususnya hadist ahad- bersifat
dhanni (dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada peringkat pasti. Karena
itu, apabila agama Islam berlandaskan hadist disamping Al-Qur’an, Islam akan
bersifat ketidak pastian. Dan ini dikecam oleh Allah dalam firmannya,
وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
(النجم :28)
Sedangkan sesungguhnya persangkaan itu tiadalah
berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran. (QS.
An-Najm (53): 28)
Demikianlah, argumen pertama inkar al-sunnah, baik yang klasik maupun
yang modern, seperti diungkapkan oleh Taufiq Sidqi (Mesir) dan Jam’iyah Ahl
Al-Qur’an (Pakistan)[46]
b)
Al-Qur’an sudah
lengkap
Dalam syari’at Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Qur’an.
Allah SWT berfirman,
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (الأنعام
:38)
Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)
(QS. Al-An’aam(6):38)
Jika
kita berpendapat Al-Qur’an masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara
tegas mendustakan Al-Qur’an dan kedudukan Al-Qur’an yang membahas segala hal
secara tuntas. Padahal, ayat di atas membantah Al-Qur’an masih mengandung
keekurangan. Oleh karena itu, dalam syari’at Allah tidak mungkin diambil
pegangan lain, kecuali Al-Qur’an. Argumen ini dipakai oleh Taufiq Sidqi dan Abu
Rayyah[47].
c)
Al-Qur’an tidak
memerlukan penjelas
Al-Qur’an tidak
memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Qur’an merupakan penjelasan
terhadap segala hal. Allah SWT berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ
شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ (النحل : 89)
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri.(QS. An-Nahl (16):89)
وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ
مُفَصَّلًا (الأنعام :114)
Dan Dialah yang telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an)
kepadamu dengan teperinci (QS. Al-An’am)
Ayat-ayat
ini dipakai dalil oleh para pengingkar Sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka
menganggap Al-Qur’an sudah cukup karena memberikn penjelasan terhadap segala
masalah. Mereka adalah orang-orang yang menolak hadist secara keseluruhan,
seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.
Selain
tiga argument yang telah disebutkan diatas, terdapat beberapa argument lain
yang dipakai oleh para pengingkar sunnah diantaranya yaitu:
·
Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui
malaikat jibril dalam bahsa arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahsa
arab mampu memahami Al-Qur’an secara langsung tanpa bantuan penjelasan dari
hadis Nabi. Dengan demikian hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk
Al- Qur’an.
· Dalam sejarah, umat islam telah mengalami
berbagai kemunduran disegala bidang. Umat islam mundur karena mereka terpecah
belah menjadi berbagai golongan dan firqoh-firqoh yang beraneka macam ragamnya.
Perpecahan itu terjadi karena umat islam berpegang pada hadis nabi. Jadi
menurut pengingkar As-Sunnah hadist Nabi merupakan sumber kemunduran umat
islam. Agar umat islam maju, maka umat islam harus meninggalkan hadist Nabi
· Asal
mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng-dongeng
semata. Dinyatakan demikian karena hadis nabi lahir setelah lama wafat Nabi.
Dalam sejarah sebagian hadis baru muncul pada zaman tabi’in dan atba’ at
tabi’in yakni pada tahun sekitar 40 atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat.
Kitab-kitab hadis yang terkenal misalnya, shahih al-bukhori dan shahih muslim,
adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadis palsu. Disamping itu banyak
matan hadist yang termuat dalam berbagai kitab hadist, isinya bertentangan
dengan Al-Qur’an ataupun logika.
· Menurut dokter Taufik Sidqi tiada satupun hadis
nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatn hadis terjadi setelah Nabi wafat.
Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermaiankan
an merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.
·
Menurut para pengingkar as sunnah, kritik sanad yang terkenal
dalam ilmu hadis sangat lemah untuk menentukan kesahihan hadis dengan alasan
Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah ilmu jarh wa at ta’dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian para periwayat hadis) baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian para periwayat generasi sahabat Nabi, al tabi’in dan atba’ at tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi[48].
Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah ilmu jarh wa at ta’dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian para periwayat hadis) baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian para periwayat generasi sahabat Nabi, al tabi’in dan atba’ at tabi’in tidak dapat ditemui dan diperiksa lagi[48].
2.
Bantahan para ahli terhadap argumentasi inkar al-sunnah
Argumen-argumen para pengingkar sunnah
mendapat bantahan yang tegas dari para ulama. Diantara bantahan tersebut:
a) Bantahan terhadap Argumen Pertama
Alasan
mereka bahwa Sunnah itu dhanni (dugaan
kuat) sedang kita diharuskan mengikuti yang pasti (yakin), masalahnya tidak
demikian. Sebab, Al-Qur’an sendiri meskipun kebenaranya sudah diyakini sebagai Kalamullah, tidak semua ayat memberikan
petunjuk hukum yang pasti sebab banyak ayat yang pengertiannya masih dhanni (dhanni ad-dalalah). Bahkan orang yang memakai pengertian ayat
seperti ini juga tidak dapat meyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti (yakin).
Dengan demikian, berarti ia juga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih
bersifat dugaan kuat (dhanni ad-dalalah) adapun
firman Allah SWT,
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّاً إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي
مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا (يونس :36)
“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti, kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu sedikitpun tidak berguna untuk mencapai kebenaran. (Q.S. Yunus:36)
Yang dimaksud dengan ‘kebenaran’ (al-haq) disini adalah masalah yang
sudah tetap dan pasti. Jadi, maksud ayat ini selengkapnya adalah, bahwa dhanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap
dengan pasti, sedangkan dalam hal menerima hadis, masalahnya tidak demikian.
Untuk membantah orang-orang yang
menolak hadis ahad, Abu Al-Husain
Al-Bashri Al-Mu’tazili mengatakan, “Dalam menerima hadis-hadis ahad, sebenarnya
kita memakai dalil-dalil yang pasti yang mengharuskan untuk menerima
hadis-hadis itu”. Jadi, sebenarnya kita tidak memakai dhann yang bertentangan dengan haq, tetapi kita mengikuti atau memakai dhann yang memang diperintahkan Allah.
Para
ingkar Sunnah juga mengkritik Imam Syafi’i yang menetapkan hukum dengan hadis ahad yang bersifat dhann. Mereka bertanya, “Apakah ada dalil yang bersifat dhann yang dapat menghalalkan suatu
masalah yang sudah diharamkan dengan dalil qath’i
(pasti dan yakin)?” Imam Syafi’i
menjawab, “Ya, ada”. Mereka bertanya lagi, “apakah itu?” Imam Syafi’i menjawab
dengan melontarkan pertanyaan, “Bagaimana pendapatmu tentang orang membawa
harta yang ada disebelah saya ini, apakah orang itu haram dibunuh dan hartanya
haram dirampas?” mereka menjawab, “Ya demikian, haram dibunuh dan hartanya
haram dirampas.” Imam Syafi’I bertanya lagi, “Apabila ternyata ada dua saksi
yang mengatakan bahwa orang tersebut baru membunuh orang lain dan merampok
hartanya, bagaiman pendapatmu?” mereka menjawab, “Ia mesti di qisas dan
hartanya harus dikembalikan kepada ahli waris yang terbunuh.” Imam Syafi’i
bertanya lagi, “Apakah tidak mungkin dua orang saksi tersebut bohong atau
keliru?” mereka menjawab, “Ya, mungkin” “Kalau begitu, kata Imam Syafi’I selanjutnya,”Kamu telah
membolehkan membunuh (mengqisas) dan merampas harta dengan dalil yang dhanni, padahal dua masalah itu sudah
diharamkan dengan dalil yang pasti.” “Ya”, komentar mereka lagi, “Karena kita
diperintahkan untuk menerima kesaksian”[49].
b) Bantahan terhadap Argumen kedua dan ketiga
Kelompok pengingkar Sunnah, baik
pada masa lalu maupum belakangan, umumnya kekurangan waktu dalam
mempelajari Al-Qur’an. Hal itu karena
mereka kebanyakan hanya memakai dalil ayat 89 surat An-Nahl, yaitu,
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ
(النحل :89)
"Dan kami turunkan kepadamu
Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu danpetunjuk serta rahmat
dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (Q.S.
An-Nahl: 89)
Padahal, dalam ayat 44 surat An-Nahl itu juga, Allah
berfirman,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ
لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ (النحل :44)
"Dan kami turunkan kepada
Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka supaya mereka memikirkan" (Q.S.
An-Nahl:44)
Apabila
Allah sendiri yang menurunkan Al-Qur’an itu sudah membebankan kepada Nabi-Nya
agar ia menerangkan isi Al-Qur’an, dapatkah dibenarkan seorang muslim menolak
keterangan atau penjelasan tentang isi Al-Qur’an tersebut, dan memakai
Al-Qur’an sesuai pemahamanya sendiri seraya tidak mau memakai
penjelasan-penjelasan yang beraasal dari Nabi SAW? Apakah ini tidak berati
percaya kepada sejumlah ayat Al-Qur’an dan tidak percaya kepada ayar-ayat yang
lain? Allah SWT berfirman,
أَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ
وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ, فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ
فيِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا,
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدَّوْنَ إِلَى أَشَدِّ
الْعَذَابِ, وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ (البقرة :85)
"Apakah kamu beriman pada sebagian
Al-Kitab dan ingkar kepada sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang
berbuat demikian diantara kamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka, dikembalikan pada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dari yang kamu perbuat". (Q.S.
Al-Baqarah: 85)
Sedangkan argument mereka dengan
ayat 38 surat Al-An’aam,
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ
شَيْءٍ (الأنعام :85)
Dan
tidaklah kami alpakan sesuatupun dalam Al-kitab (Q.S. Al-An’aam: 38)
Hal itu tidak pada tempatnya
sebab Allah juga menyuruh kita untuk memakai apa yang disampaikan oleh Nabi
SAW, seperti dalam firman-Nya,
وَمَا اتكُمُ
الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهكُمْ عَنْهُ فَاْنتَهُوا (الحشر :7)
“Dan
apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah” (Q.S.
Al-Hasyr: 7)
Allah SWT juga berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ,
وَمَنْ يَعْصِ
اللهَ
وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَللًا مُّبِيْنًا (الأحزاب : 36)
Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi prempuan
mukminah, apabila Allah dan Rosul-Nya, telah menetapkan suatu ketetapan mereka
mempunyai pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dan Rosul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat yang nyata. (Q.S. Al-Ahzab)
Berdasarkan teks Al-Qur’an Rasulullah
SAW sajalah yang memberi tugas untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an, sedangkan
kita diwajibkan untuk menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau, baik berupa
perintah maupun larangan. Semua ini bersumber dari Al-Qur’an. Kita tidak
memasukan unsur lain ke dalam Al-Qur’an sehingga masih dianggap memiliki
kekurangan. Hal ini tak ubahnya seperti seorang yang diberi istana yang megah
yang lengkap dengan segala fasilitasnya. Akan tetapi, ia tidak mau memakai lampu sehingga pada malam
hari, istana itu gelap. Sebab, menurut dia sudah paling lengkap dan tidak perlu
ha-hal lain. Apabila istana itu dipasang lampu-lampu dan yang lain-lain,
berarti dia masih memerlukan masalah lain sebab kabel-kabel lampu mesti
disambung dengan pembangkit tenaga listrik di luar. Akhirnya, ia menganggap
bahwa gelap yang terdapat dalam istana itu sudah merupakan cahaya[50].
D. Inkar Al-Sunnah Di Indonesia
Sedikit sekali data
tentang gerakan ini di Indonesia, tetapi pada tahun delapan puluhan, muncul
kepermukaan sebuah gerakan inkar sunnah yang diketuai oleh Azwar Syamsu.
Gerakan ini mulai menyebar di beberapa kawasan di Jakarta dan menyebut kelompok
pengajian mereka dengan sebutan Kelompok Qur’ani (Pengikut Al-Qur’an).
Pengajian ini tumbuh subur di beberapa wilayah Jakarta. Beberapa masjid di
Jakarta mereka kuasai. Misalnya masjid Asy-Syifa di Rumah Sakit Mangunkusumo.
Di Jakarta sendiri pengajian inkar sunnah ini berpusat di Rumah Sakit Pusat
Indonesia. Pengajian ini dipimpin oleh Haji Abdur Rahman. Awalnya, tidak ada
tanda-tanda ajaran sesat yang tampak. Lambat laun, muncul kebusukan yang selama
ini mereka tutup-tutupi. Mereka tidak lagi menggunakan adzan dan iqamah pada
waktu shalat karena tidak ada tuntunannya dalam Al-Qur’an. Dan seluruh shalat
mereka berjumlah dua rakaat.
Kemudian akhir-akhir
ini Paham Inkar Sunnah mulai menyebar diberbagai kota diantaranya DI
Yogyakarta. Istilah yang mereka gunakan “Paham Qurani”. Penulis pada
tahun 2009 mulai mengenal kelompok atau gerakan tersebut. Waktu itu selama
bulan ramadhan, kelompok Paham Qur’ani meminta untuk ikut serta dalam
mensukseskan rangkaian acara Ramadhan bil Jamiah masjid UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Dengan model cuci otak yang mereka lakukan, mereka sanggup merekrut
jamaah dari berbagai kalangan mulai pengangguran hingga pengusaha sukses, mulai
anak-anak hingga orang tua. Kemasan ajaran kelompok ini sangat bagus yaitu
awalnya mengajak untuk berbagi kepada sesama hingga lama kelamaan mereka
mengatasnamakan golongannya menjadi golongan penengah “wasit” dari semua agama
dan aliran yang ada di dunia ini, bahkan salah satu dari mereka mengatakan
semua pengikut ajaran ini adalah nabi dan rasul.
Selain mengadakan
berbagai majelis taklim, mereka juga menerbitkan buku-buku, modul-modul,
dan kaset-kaset untuk menyebarkan paham sesatnya pada kalangan luas.
Diantara tokoh yang bergerak dibidang ini adalah Lukman Saad, sarjana muda
lulusan IAIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta. Dengan dukungan mesin cetak yang
modern, ia berhasil mencetak beribu-ribu buku inkar sunnah[51].
Diantara ajaran pokoknya adalah sebagai berikut:
·
Tidak percaya kepada semua hadis Rasulullah. Menurut mereka hadis itu
karangan Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
·
Dasar hukum Islam hanya Al-Quran saja.
·
Syahadat mereka; Isyhadu bi anna muslimin.
·
Shalat mereka bermacam-macam, ada yang shalatnya dua rakaat – dua rakaat
dan ada hanya felling saja (ingat).
·
Puasa wajib hanya bagi orang yang melihat bulan saja, kalau seorang saja
yang melihat bulan, maka dialah yang wajib berpuasa.
·
Haji boleh dilakukan selama 4 bulan haram yaitu Muharram Rajab, Zulqa’dah,
dan Zulhijjah.
·
Pakaian ihram adalah pakaian Arab dan membuat repot. Oleh karena itu,
waktu mengerjakan haji boleh memakai celana panjang dan baju biasa serta
memakai jas/dasi.
·
Rasul tetap diutus sampai hari kiamat.
·
Nabi Muhammad tidal berhak menjelaskan tentang ajaran Alquran (kandungan
isi Al-Qur’an).
·
Orang yang meninggal dunia tidak dishalati karena tidak ada perintah Al-Quran.
Demikian diantara ajaran pokok inkar sunnah yang intinya menolak ajaran
sunnah yang dibawa Rasulullah dan hanya menerima A-Qur’an saja secara
terpotong-potong[52]
KESIMPULAN
1.
Dalam beberapa literature masyarakat
ada sebagian kelompok yang mengingkari Sunnah (hadist) sebagai sumber kedua
ajaran agama islam setelah Al-Qur’an. Kelompok ini disebut sebagai kelompok Inkar Al-Sunnah.
2.
Salah satu yang factor melatarbelakangi penolakan mereka terhadap
sunnah adalah adalah ketidak
fahaman mereka sendiri tentang ilmu hadits baik pada masa lalu maupun sekarang.
Termasuk didalamnya adalah kelompok Inkar al-Sunnah yang ada di Indonesia dan
Malasyia. Selain itu ketidaktahuan mereka atas makna al-Qur’an, ilmu tafsir dan
bahasa Arab juga mendorong munculnya kelompok inkar al-sunnah tersebut.
3.
Dalam mengingkari Sunnah kelompok
ini tentunya mempunyai beberapa argument untuk menguatkan pendapat mereka.
Salah satu argument mereka menggunakan dalil Al-Qur’an
مَا
فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ (الأنعام :85)
“Dan
tidaklah kami alpakan sesuatupun dalam Al-kitab (Q.S. Al-An’aam: 38)”
Hal
ini dibantah oleh ulama dengan dalil Al-Qur’an juga,
وَمَا اتكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهكُمْ عَنْهُ
فَاْنتَهُوا (الحشر :7)
“Dan apa yang diberikan Rosul
kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (Q.S. Al-Hasyr: 7).
Demikian
diantara argument pokok inkar sunnah yang intinya menolak ajaran sunnah yang
dibawa Rasulullah dan hanya menerima A-Qur’an saja secara terpotong-potong.
4.
Pada tahun delapan puluhan, muncul kepermukaan sebuah
gerakan inkar sunnah yang diketuai oleh Azwar Syamsu. Gerakan ini mulai
menyebar di beberapa kawasan di Jakarta dan menyebut kelompok pengajian mereka
dengan sebutan Kelompok Qur’ani (Pengikut Al-Qur’an).
DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Al-A’zhami, Dirosat fi Al-Hadist An-Nabawi… jilid 1
Al-Hakim. Al-Mustadrak ‘ala
Ash-Shahihain. Beriut: Dar Al-Ma’rifat. t.t Juz I. Al-Khatib
Daud Rasyid.
Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hugronje hingga Harun Nasution. Bandung
Syamil. 2006.
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, juz 3, dan Ar-Raghib
Al-Ashfani, Mu’jam Mufradat
Abi Hilal Al-Askari, Al-Lum’ah min Al-Furuq
Asy-Syathibi, Al-I’tisham Juz 1
Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi
Abdul Majid
Khon, Pemikiran Inkar Sunnah
Al-Baghdadi. Al-Kifayah fi’lm
Ar-Riwayah. t.tp.: Al-Maktabah Al’Ilmiyah. 1358 H. lihat
Azami. Studies In Early
Hadith Literature. Terj. Ali Mustafa Yaqub. Jakarta: pustaka Firdaus.2000.
Syaibah Al-Hamd ‘Abd. Al-Qadir. Al-Adyan
wa Al-Firaq wa Al-madzahib Al-Mu’ashirah. Jeddah: Muassasah Al-Tib’ah wa
Ash-Shihafa wa An-Nasyr. t.t.
Mustafa As-Siba’I. As-Sunnah
wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Al-Maktab Al-Islami. 1980.
Jilid I.
Abd Al-Qahir Al-Baghdadi. Al-Farq
baina Al-Firaq. Editor MS. Kailani. Beirut: Dar Al-Ma’arifah. 1983. Jilid
I.
Asy-Syahristani. Al-Milal wa
An-Nihal. Editor M.S. Kailani. Beirut: Dar Al-Ma’rifah. 1983. Jilid I. hlm.
48
[1] Muhammad Al-Khudari. Tarikh
At-Tasrri’ Al-Islam. Kairo: Al-Maktabah, At-Tijariyah Al-Kubra. t.t. hlm.
186
As-Siba’i. op.cit.
Muhammad bin Idris As-Syafi’I . Al-Umm.
Beirut: Dar Al-Ma’rifah. 1973. Jilid VII. Hlm. 273
Ali Mustafa
yaqub. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2004. Hlm. 40-44
[1]
Ibrahim
Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, juz 3,hlm.951 dan Ar-Raghib Al-Ashfani, Mu’jam
Mufradat, hlm.526-527
[2]
Abi
Hilal Al-Askari, Al-Lum’ah min Al-Furuq, hal 2
[3]
Asy-Syathibi,
Al-I’tisham Juz 1, hlm. 132
[4]
Ibid.
[5]
Tim
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi hlm.428-429
[6]
Abdul Majid Khon, Pemikiran Inkar Sunnah hal.58.
[7]
Abdul
Muhdi,Al-Madkhal ila…, hal.323-328
[8]
Daud
Rasyid. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari Snouck Hugronje hingga Harun Nasution.
Bandung Syamil. 2006. Hlm. V.
[12] Al-Hakim.
Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Beriut:
Dar Al-Ma’rifat. t.t Juz I. hlm 109-110; Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-Kifayah fi’lm Ar-Riwayah. t.tp.:
Al-Maktabah Al’Ilmiyah. 1358 H. hlm. 11; lihat Azami. Studies In Early Hadith Literature. Terj. Ali Mustafa Yaqub. Jakarta:
pustaka Firdaus.2000. hlm.41.
[17] Syaibah
Al-Hamd ‘Abd. Al-Qadir. Al-Adyan wa
Al-Firaq wa Al-madzahib Al-Mu’ashirah. Jeddah: Muassasah Al-Tib’ah wa Ash-Shihafa
wa An-Nasyr. t.t. hlm. 103
[18] Mustafa
As-Siba’I. As-Sunnah wa Makanatuha fi
At-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Al-Maktab Al-Islami. 1980. Jilid I. hlm. 22.
[19] Abd
Al-Qahir Al-Baghdadi. Al-Farq baina
Al-Firaq. Editor MS. Kailani. Beirut: Dar Al-Ma’arifah. 1983. Jilid I. hlm.
73-74
[26]
Asy-Syahristani.
Al-Milal wa An-Nihal. Editor M.S.
Kailani. Beirut: Dar Al-Ma’rifah. 1983. Jilid I. hlm. 48
[27] Muhammad
Al-Khudari. Tarikh At-Tasrri’ Al-Islam. Kairo:
Al-Maktabah, At-Tijariyah Al-Kubra. t.t. hlm. 186
[31]
Al-Baghdadi. Op.cit. hlm.131-132.
[33]
Al-Baghdadi. Op.cit. hlm. 121, 132,
183
[34]
Azami. Op.cit. hlm. 25.
[35]
Asy-Syafi’I. op.cit hlm. 273-278;
As-Siba’i. op.cit. hlm. 148
[36] Ali Mustafa
yaqub. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka
Firdaus. 2004. Hlm. 40-44.
[37] Ibid. hlm.
46
[46]
Azami.op.cit.
hlm. 51-52
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar