LEMBAGA PENGAWAS KEUANGAN SEBELUM DAN SESUDAH UU NO. 21 TAHUN 2011 TENTANG OJK
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Di Indonesia, kata-kata OJK belum
begitu banyak kita kenal. OJK adalah singkatan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut UU No 21 tahun 2011 Bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan
seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana
pensiun dan asuransi sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di
Indonesia yang perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik
segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.
Dari uraian diatas, penulis ingin membahas tentang
Otoritas Jasa Keuangan, semoga pembahasan ini bisa menjadi tambahan ilmu serta
bisa kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Amien……
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
sejarah terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan?
2.
Apa
sajakah fungsi dan tujuan Otoritas Jasa Keuangan?
3.
Apa
sajakah tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan?
4.
Bagaimanakah
status hukum keuangan Otoritas Jasa Keuangan?
5.
Apa
sajakah asas-asas OJK dalam menjalankan kegiatan?
6.
Bagaimana
peran BI pasca terbentuknya OJK?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sejarah terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan.
2.
Untuk
mengetahui fungsi dan tujuan Otoritas Jasa Keuangan.
3.
Untuk
mengetahui tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan.
4.
Untuk
mengetahui status hukum keuangan Otoritas Jasa Keuangan.
5.
Untuk
mengetahui asas-asas OJK dalam menjalankan kegiatan.
6.
Untuk
mengetahui peran BI pasca terbentuknya OJK.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Secara
historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk
menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh
DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang
Bank Indonesia yang memberikan independensi
kepada Bank Sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga
mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan
fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan
Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU
(kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan.
Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank[1].
Di
referensi yang lain mengemukaan secara historis, ide untuk membentuk lembaga
khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak
diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan
bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dengan
melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukan lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan independen harus dibentuk. Dan bahkan pada
ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukkan lembaga pengawasan akan
dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah, yang dijadikan
landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor
jasa keuangan.
Akan
tetapi dalam prosesnya, sampai dengan tahun 2010. Perintah untuk pembentukkan
lembaga pengawasan ini, yang kemudian dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), masih belum terealisasi. Kondisi tersebut menyebabkan dalam kurun waktu
hampir satu dekade, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak dapat menjadi pengawas
perkembangan perbankan yang belakangan ada banyak fenomena-fenomena negatif.
Seperti Kasus Bank Centuri yang melakukan penyimpangan tanpa ada ketakutan
bertindak dan dikarenakan memang tidak ada lembaga tertentu yang menjadi
pengawas dari bank sentury. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini bisa menjadi
penting, apabila dalam perkembangan praktek perbankan dan pengawasan perlu
dilakukan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kepentingan.
Disisi yang lain, para pakar ekonomi
mengemukakan pendapat mengenai OJK ini, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem keuangan global. Namun,
RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain, sperti RUU
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta amandemen UU Bank
Indonesia, Perasuransian dan Dana Pensiun. Hal tersebut terungkap dalam seminar
Reformasi. Sektor Keuangan memperkuat Fondasi, Daya Saing dan Stabilitas
Perekonomian Nasional. Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas
keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan
komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. Pemerintah
mempunyai komitmen tinggi dan menjalankan mandat untuk melakukan reformasi di
sektor keuangan.
Menurut
Muhammad Hatta Rajasa menteri perekonomian menyatakan sebelum Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) akan diberlakukan di januari 2013, maka perlu adanya sosialisai
kepada masyarakat Indonesia tentang keberadaan OJK ini nantinya sekaligus untuk
memberitahukan tentang tujuan dan fungsi OJK itu sendiri yang termuat didalam
UU RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK[2].
Dengan melihat kehadiran OJK
nantinya, dapat dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse
of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan
dan pengaturan dibuat terpisah. Akan tetapi meskipun OJK memiliki fungsi
pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang
tindih, sebab OJK secara organisatoris akan terdiri atas tujuh dewan
komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan
komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan lembaga
keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia
akan dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi pengawasan. Kalau selama
ini mikro dan makro prudensialnya di Bank Indonesia, nanti OJK akan fokus
menangani mikro prudensialnya[3].
B.
Fungsi dan Tujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah
lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal,
reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi sudah harus
terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (Otoritas Jasa
Keuangan) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yg
perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dgn baik segala hal untuk
mendukung keberadaan Otoritas Jasa Keuangan tersebut.
Ø Fungsi Otoritas Jasa Keuangan Adalah
·
Mengawasi
aturan main yg sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan.
·
Menjaga
stabilitas sistem keuangan.
·
Melakukan
pengawasan non-bank dalam struktur yg sama seperti sekarang.
·
Pengawasan
bank keluar dari otoritas BI sebagai bank sentral dan dipegang oleh lembaga
baru[4].
Ø Tujuan Dalam Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan:
OJK
dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
1. Terselenggara
secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
2. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil
3. Mampu
melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat[5].
C.
Tugas dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Ø Tugas Otoritas
Jasa Keuangan
Berdasarkan
UU No.23 tahun 2011 Pasal 6 adalah sebagai berikut :
1. OJK
bertugas untuk mengatur dan mengawasi semua kegiatan yang berhubungan dengan
jasa keuangan di sektor perbankan. Diharapkan dengan adanya pengawasan yang
serius dari OJK tersebut,tidak ada lagi penyelewengan di sektor perbankan.
2. Selain
bertugas untuk mengawasi jasa keuangan
disektor perbankan,tugas lain yang tidak kalah penting yang harus diemban oleh
OjK ialah melakukan pengawasan pada kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal.
3. Perusahaan
lain yang merupakan tanggung jawab OJK adalah pengawasan pada lembaga
perasuransian,lembaga pembiayaan,lembaga dana pensiun,dan jasa keuangan lain.
Ø Wewenang
Otoritas Jasa Keuangan.
Berdasarkan UU NO.23 tahun 2011 pasal 9, OJK dalam
melaksanakan tugas pengawasan,
memiliki berbagai macam wewenang,diantaranya sebagai berikut:
1. OJK memilik wewenang untuk menetapkan sebuah
kebijakan opersional pengawasan terhadap setiap kegiatan jasa keuangan.
Harapannya dengan adanya penetapan
tersebut, kegiatan jasa keuangan dapat berjalan dengan lancar.
2. OJK berwenang untuk melakukan pemeriksaan, pengawasan,
penyidikan, perlindungan terhadap konsumen serta tindakan lain terhadap lembaga
keuangan sesuai dengan Undang-Undang.
3. Memiliki kewenangan untuk memberlakukan sanksi
administratif terhadap pihak-pihak yang melakukan sebuah pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan pada sektor jasa keuangan. Dengan pemberlakuan
sanksi administratif tersebut diharapkan akan meningkatkan kehati-hatian pada
sektor jasa keuangan sehingga sektor jasa keuangan bisa semakin professional.
4. Melakukan pengawasan terhadap setiap tugas yang
dilakukan oleh kepala eksekutif. Pengawasan tersebut penting untuk dilakukan
agar terjadi sebuah professional kerja,sehingga dapat berjalan sesuai dengan
tujuan awal.
5. Berwenang untuk melakukan perintah tertulis yang
berhubungan dengan lembaga jasa keuangan maupun pihak-pihak lain. Dengan adanya
wewenang tersebut diharapkan OJK akan berkembang secara independen tanpa dicampuri
oleh berbagai macam pihak[6].
Dalam melaksanakan tugas pengaturan, OJK juga memiliki wewenang, diantaranya sebagai
berikut:[7]
1. Menetapkan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
2.
Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
3. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK.
4. Menetapkan
peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan.
5. Menetapkan
kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK.
6. Menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan
perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu.
7. Menetapkan
peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa
Keuangan.
8. Menetapkan
struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan
menatausahakan kekayaan dan kewajiban.
9.
Menetapkan
peraturan mengenai tata cara pengenaan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.
D.
Status Hukum Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Anggaran Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
pungutan dari penyelenggara jasa keuangan dinilai sebagai ketidakjelasan status
hukum keuangan otoritas tersebut. Hal itu dikatakan oleh Guru Besar Hukum
Keuangan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Arifin P Soeria Atmadja, dalam
sebuah seminar di Jakarta.
Menurutnya, ketidakjelasan status keuangan OJK terletak pada
penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pasal tersebut
mengamanatkan pembiayaan OJK mandiri berasal dari pungutan penyelenggara jasa
keuangan, sedangkan pembiayaan dari APBN dibutuhkan hanya pada saat pungutan
yang dilakukan tidak memenuhi pembiayaan operasional OJK.
“Di lain pihak, dia (OJK) adalah
suatu lembaga yang masih menggunakan APBN. Kalau dia independen, seharusnya dia
berbadan hukum sendiri, jadi uang yang masuk ke sana adalah merupakan keuangan
OJK, bukan lagi keuangan negara,” tutur Arifin.
Menurut Arifin, jika OJK tidak
diklasifikasikan sebagai badan hukum dan juga tak dipertegas sebagai lembaga
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, maka perlu ditelaah status hukum
keuangan pungutan OJK terhadap penyelenggara jasa keuangan. Dilihat dari
UU-nya, OJK dapat menerima, mengelola dan mengadministrasikan pungutan tersebut
tanpa menyetorkan terlebih dahulu sesuai dengan asas kas.
Namun, jika pungutan jasa keuangan
tersebut terdapat kelebihan anggaran, OJK menyetorkannya ke kas negara. “Jika
di Indonesia dianut pola pengelolaan keuangan yang umum dan khusus dalam bentuk
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), maka dengan
ditetapkannya UU No. 21 Tahun 2011 terdapat pola pengelolaan khusus keuangan
OJK (PK-OJK),” ujar Arifin.
Ia juga mengkritik laporan keuangan
tahunan OJK yang terdapat dalam Pasal 38 ayat (8) UU OJK. Menurut Arifin, pasal
tersebut menyatakan bahwa laporan keuangan tahunan OJK diaudit oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) atau akuntan publik yang ditunjuk BPK.
Arifin menilai ketentuan ini sarat
dengan konflik kepentingan karena laporan keuangan BPK juga diperiksa oleh
akuntan publik. Hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2006
tentang BPK. “Jika pungutan yang dilakukan OJK merupakan penerimaan OJK,
mengapa pemeriksaan tidak langsung dilakukan akuntan publik yang kemudian
hasilnya disampaikan ke DPR dan BPK,” katanya.
Atas dasar itu, ia menyarankan agar OJK ditetapkan sebagai badan
hukum publik seperti halnya Bank Indonesia (BI). Penetapan ini harus dimasukkan
ke dalam revisi UU OJK. Selain itu, modal awal OJK sebagai badan hukum publik
merupakan pinjaman yang nantinya akan dikembalikan ke APBN, sehingga sumber
keuangan OJK seluruhnya dari pungutan jasa keuangan.
“UU OJK tidak hanya mengecualikan
beberapa hal OJK tidak terikat dengan paket UU Keuangan Negara dan APBN, tapi
juga harus menyatakan OJK sebagai badan hukum publik yang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangannya tidak termasuk keuangan negara,” tutur Arifin.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI
DPR Harry Azhar Azis mengatakan bahwa sumber pendanaan OJK berasal dari APBN
dan iuran penyelenggara jasa keuangan sudah mengkategorikan bahwa OJK sudah
berbadan hukum yang independen. Tapi independensi OJK dinilainya tak seperti
independensi BI.
“OJK agak independen, kalau BI independennya 100 persen,” katanya
kepada hukumonline, Rabu (24/4).
Harry memaklumi kekhawatiran Arifin
soal independensi OJK. Pasalnya, di jajaran pimpinan OJK terdapat ex officio
yang berasal dari pemerintah, yakni Wakil Menteri Keuangan. Ia menduga, pejabat
ex officio tersebut akan mementingkan kepentingan pemerintah saat pengambilan
keputusan di OJK dilakukan.
“Karena ada ex officio wakil pemerintah di OJK, hasilnya
independensi OJK hampir 80 persen,” ujarnya.
Terkait sumber anggaran OJK, menurut
Harry, diperlukan diskusi terlebih lebih dalam lagi. Apakah anggaran dari APBN
akan bersifat permanen atau terjadwal. Permanen misalnya, APBN 70 persen dan
pungutan iuran 30 persen. Atau terjadwal, untuk tahun 2013 APBN sebesar 100
persen, dan di tahun-tahun berikutnya berkurang persentasenya. “Ini harus
didiskusikan lagi,” katanya.
Sebelumnya, saat mengikuti fit and
proper test sebagai calon komisioner OJK, Ilya Avianti menilai bahwa iuran yang
dipungut dari lembaga keuangan akan mengurangi independensi OJK. Menurut Ilya
yang kini menjabat sebagai Anggota Dewan Komisioner bidang Auditor ini, lebih
baik pendanaan OJK berasal dari APBN semata.
“Tidak boleh ada yang membiayai dan
tidak boleh ada yang mensponsori agar OJK tetap independen,” katanya[8].
E.
Asas-asas OJK dalam Menjalankan Kegiatan
Untuk melaksanakan kegiatannya OJK sendiri juga
mempunyai asas-asas tertentu yang harus di jadikan pedoman yaitu:
a.
Asas
Independensi, tentang sifat independensi OJK dalam kegiatannya,juga independen
dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK.
b.
Asas Kepastian
Hukum, bahwa OJK mengutamakan landasan dari UU dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan OJK.
c.
Asas Kepentingan
Umum, bahwa semua kegiatan OJK di dasarkan untuk membela dan melindungi
kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum.
d.
Asas
Profesionalitas, asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e.
Asas Integritas,
OJK selalu berpegang teguh pada nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan
yang di ambilnya.
f.
Asas
Keterbukaan, asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas asasi pribadi dan golongan,
serta rahasia sebagaimana di tetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
g.
Asas
Akuntabilitas, bahwa semua kegiatan dari OJK sendiri dapat di pertanggung
jawabkan kepada publik[9].
F.
Peran BI Pasca Terbentuknya OJK
Sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 8 UU No. 3 Tahun 2004, Bank Indonesia selaku bank sentral memiliki tiga
kewajiban dalam menjaga kestabilan rupiah yakni menetapkan kebijakan moneter,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi
perbankan[10].
Namun, sejak terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tugas BI pun berkurang
dengan diserahkannya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan ke OJK.
Adanya
OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank akan
diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral hanya berperan
sebagai regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas moneter. Dengan
demikian pembentukan OJK akan berdampak pada perubahan atas empat peraturan perundang-undangan
terkait dengan asuransi, pasar modal, perbankan, serta Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan lainnya. Secara substansi keberadaan OJK harus dapat
menjembatani kepentingan setiap regulator pengawasan saat ini[11].
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah
diundangkan dan diatur dalam Undang-undang (UU) nomor 21 tahun 2011 yang
disahkan pada tanggal 27 Oktober 2011 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
setelah melalui masa 8 tahun Rancangan Undang-undang (RUU) sebelum disahkan.
Dengan disahkannya RUU OJK, maka per tanggal 31 Desember 2012,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) otomatis akan melebur
ke dalam OJK. Sementara untuk pengawasan perbankan, Bank Indonesia (BI) dipersilahkan
masuk ke OJK pada awal 2013, atau paling lambat Desember 2013[12].
Ø
Pengawasan
Perbankan
Perbankan
perlu diawasi dalam rangka untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat.
Ciri-ciri sistem perbankan yang sehat adalah pertama, sanggup menjaga
kepentingan masyarakat. Hal ini penting mengingat besarnya dana masyarakat yang
terakumulasi pada perbankan, sehingga gagalnya perbankan akan berdampak
terhadap kepentingan masyarakat luas. Kedua, perbankan yang mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pengendalian moneter. Sebagai lembaga intermediasi,
perbankan dituntut mampu mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat. Perbankan
berperan menyalurkan dana masyarakat dari pihak yang kelebihan dana kepada
pihak yang membutuhkan dana, untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Laju
inflasi dan daya beli masyarakat juga perlu dikendalikan, sehingga tidak
membebani masyarakat. Ketiga, perbankan mampu mengembangkan usahanya secara
efisien dan wajar. Tingginya tingkat persaingan dapat menyebabkan inovasi yang
tidak wajar dan memunculkan kegiatan perbankan yang berpotensi merugikan
masyarakat. Oleh karena itu perbankan perlu di atur dan diawasi agar dapat
tercapai praktik perbankan yang baik.
Sebelum
terbentuk Otoritas Jasa Keuangan, perbankan diatur dan diawasi oleh Bank
Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan lainnya seperti
Pasar modal, lembaga pensiun, pegadaian dan pembiayaan diatur dan diawasi oleh
BAPEPAM-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). Masing-masing
lembaga fokus pada lembaga keuangan yang di awasi. Akan tetapi hal ini mengandung
kelemahan, karena praktik lembaga keuangan sekarang sudah semakin komplek.
Teknologi informasi dan inovasi keuangan menghasilkan sistem keuangan yang
semakin rumit, dinamis dan saling terintegrasi antar lembaga keuangan. Demikian pula dari aspek kepemilikan,
konglomerasi pada lembaga keuangan menyebabkan keterkaitan antar pemilik dan
pihak-pihak yang memiliki kepentingan khusus pada lembaga keuangan[13].
Ø Tugas Bank Indonesia
Pasca
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan, maka tugas Bank Indonesia adalah menjaga
stabilitas moneter dan mengatur sistem pembayaran. Selanjutnya untuk
melaksanakan tugas menjaga stabilitas moneter dan menjaga sistem pembayaran,
maka Bank Indonesia sebagai bank sentral bukan hanya mengawasi bank, tetapi
juga dapat mengawasi pasar modal dan lembaga keuangan non bank. Hal ini yang
selama ini tidak pernah dilakukan oleh Bank Indonesia. Kegiatan ini bertujuan
untuk meyakinkan ada atau tidaknya resiko terganggunya stabilitas sistem
keuangan.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia
juga berperan sebagai lender of the last resort. Dalam hal ini apabila terdapat bank yang mengalami
kesulitan keuangan dan membutuhkan pinjaman, maka Bank Indonesia bertugas
memberikan bantuan pinjaman dalam bentuk Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek
(FPJP). Akan tetapi setelah pengaturan dan pengawasan perbankan dilakukan oleh
OJK maka yang mengetahui dan menguasai informasi kondisi perbankan adalah OJK.
Selanjutnya OJK akan melaporkan pada BI tentang kondisi bank yang memerlukan
bantuan. Tentu saja BI tidak dapat secara cepat memutuskan untuk memberikan
FPJP, akan tetapi terlebih dahulu akan melakukan konfirmasi dan peninjauan
ulang. Hal ini berpotensi kurang efektifnya peran BI sebagai lender of the last
resort.
Sebagai lembaga yang bertugas
menjaga sistem pembayaran dan mengatur kebijakan moneter, maka Bank Indonesia
menjaga kestabilan nilai rupiah. Salah satu intrumen yang dapat digunakan oleh
BI adalah menentukan tingkat suku bunga acuan (BI Rate), giro wajib minimum,
ketentuan devisa dan ketentuan kredit[14].
Pasal
39 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan
Bank Indonesia dalam menyusun pengaturan tertentu terkait dengan pengawasan di
bidang perbankan. Kemudian, Pasal 40 UU No. 21 Tahun 2011 lebih lanjut mengatur
bahwa untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka
penyusunan peraturan pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan
pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu
kepada OJK.
Berdasarkan hal tersebut, maka
apabila bank mengalami kesulitan likuiditas atau memburuknya kesehatan bank,
maka Bank Indonesia dapat memberikan kredit kepada bank dengan jaminan agunan
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa keberadaan Bank Indonesia sebagai LoLR masih sangat diperlukan disektor
perbankan dan OJK nantinya masih akan bergantung kepada Bank Indonesia
khususnya yang terkait dengan penyelamatan bank[15].
BAB
3
KESIMPULAN
1.
Otoritas
Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri
perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan
asuransi sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yang perlu
diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk
mendukung keberadaan OJK tersebut.
2.
Kehadiran
OJK dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
yang selama ini cenderung muncul.
3.
Fungsi
Otoritas Jasa Keuangan Adalah
·
Mengawasi
aturan main yg sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan.
·
Menjaga
stabilitas sistem keuangan.
·
Melakukan
pengawasan non-bank dalam struktur yg sama seperti sekarang.
4. Untuk
melaksanakan kegiatannya OJK sendiri juga mempunyai asas-asas tertentu yang
harus di jadikan pedoman yaitu:
·
Asas
Independensi
·
Asas Kepastian
Hukum
·
Asas Kepastian
Hukum
·
Asas
Profesionalitas, dll.
5.
Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) telah diundangkan dan diatur dalam Undang-undang (UU) nomor
21 tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 27 Oktober 2011 oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), setelah melalui masa 8 tahun Rancangan Undang-undang (RUU)
sebelum disahkan.
6. Adanya OJK, fungsi pengawasan lembaga keuangan baik bank maupun
bukan bank akan diambil alih OJK. Sementara Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
hanya berperan sebagai regulator kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas
moneter.
BAB 4
PENUTUP
Alhamdulillah,
lantunan kalimat syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T. yang Maha Agung yang
telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
singkat ini.
Kepada
para pembaca semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi pengetahuan yang
bermanfaat bagi kita kelak.
Akhirnya, dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT,
selesailah penulisan makalah ini, semoga oleh Allah SWT dicatat sebagai amal
kebajikan untuk kemudian dapat menjadi bekal kami di Akhirat kelak.
Namun kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
kedepan. Semoga kita senantiasa mendapat
lindungan Allah SWT. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan
http://radiansystem.com/artikel/sejarah-otoritas-jasa-keuangan-ojk/
http://zulfidianezaini.blogspot.com/2012/12/hubungan-hukum-bank-indonesia-dengan.html
[1]
http://bunda-bisa.blogspot.com/2013/02/otoritas-jasa-keuangan.html
[2]
http://cwts.ugm.ac.id/2013/04/implikasi-pembentukan-otoritas-jasa-keuangan-terhadap-pengaturan-dan-pengawasan-perbankan-indonesia/
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan
[11]
http://zulfidianezaini.blogspot.com/2012/12/hubungan-hukum-bank-indonesia-dengan.html
[12]
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/11/08/awal-2013-tampil-lembaga-super-otoritas-jasa-keuangan-ojk-506792.html
[14] Ibid
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar