PEMIKIRAN TEOLOGI KHAWARIJ DAN MURJIAH



BAB 1
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang Masalah
Kita sudah mengetahui apa yang terjadi ketika peperangan Shiffin antara Sayidina ‘Ali dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pihak Mu’awiyah hampir kalah lalu mereka mengangkat Mushaf pada ujung tombak dan menyerukan pemberhentian peperangan dengan bertahkim. Akibat dari itu golongan ‘Ali terpecah menjadi dua golongan yaitu golongan yang setuju dengan tahkim dan golongan yang tidak setuju dengan tahkim. Mereka yang tidak setuju dengan tahkim berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diputuskan melalui tahkim.  Mereka memandang ‘Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah ssehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah islam, mereka terkenal dengan nama Khawarij.
 Kemudian selain Khawarij, umat islam juga mengenal aliran Murji’ah. Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kelompok Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga seorang muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai muslim dan mempunyai harapan untuk bertobat.
Dari uraian diatas, penulis ingin membahas tentang pemikiran teologi Khawarij dan Murji’ah, semoga pembahasan ini bisa menjadi tambahan ilmu serta bisa kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Amien……

2.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah munculnya Khawarij dan Murji’ah?
2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh Khawarij dan Murji’ah?
3.      Bagaimanakah pemikiran teologi Khawarij dan Murji’ah?

3.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui sejarah munculnya Khawarij dan Murji’ah
2.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh Khawarij dan Murji’ah
3.      Untuk mengetahui pemikiran teologi Khawarij dan Murji’ah

BAB 2
PEMBAHASAN
A.  Sejarah Munculnya Khawarij Dan Murji’ah
1.    Sejarah Munculnya Khawarij
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak[1]. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jama’ah, baik ia keluar pada masa Khulafaur Rasyidin, atau pada masa tabi’in secara baik-baik[2]. Berdasarkan pengertian etimologi ini, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam[3].
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Shiffin pada tahun 37/648 M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan perihal persengketaan khalifah[4].
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah di bai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah karena memberontak khalifah yang sah.
Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena  desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan[5].
Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”Mengapa kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”. Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi[6].

2.    Sejarah Munculnya Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan.Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak[7].
               Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin dihadapan mereka.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sekretarianisme (terikat pada satu aliran saja), baik sebagai kelompok politik maupun teologis.

Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yaitu soal khilafah (kekhalifahan) yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya Khalifah Usman yang berlanjut sepanjang masa Khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Shiffin. Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman Ibn Affan, umat islam terbagi menjadi dua golongan yaitu kelompok Ali dan Muawiyyah. Kelompok Ali lalu terpecah menjadi dua yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Setelah wafatnya Ali, Muawiyyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah (661M). Kaum Khawarij dan Syi’ah yang saling bermusuhan, mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah itu. Syi’ah menganggap bahwa Muawiyyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya. Sementara itu, Khawarij tidak mendukung Muawiyyah karena ia dinilai telah menyimpang dari ajaran islam. Di antara ketiga golongan itu terjadi saling mengkafirkan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul satu golongan baru yaitu Murji’ah yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka, sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di hadapan Tuhan.
Dari persoalan politik mereka tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan bagi mereka. Terhadap orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Argumentasi yang mereka ajukan dalam hal ini bahwa orang islam yang berdosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasul-nya. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir[8].
           
B.  Tokoh-tokoh Khawarij Dan Murji’ah
1.      Tokoh-tokoh Khawarij
Diantara beberapa tokoh-tokoh aliran Khawarij yang terpenting adalah :
·      Abdullah bin Wahab al-Rasyidi (pimpinan rombongan sewaktu mereka berkumpul di Harura, pimpinan Khawarij pertama)
·      Urwah bin Hudair
·      Mustarid bin sa’ad
·      Hausarah al-Asadi
·      Quraib bin Maruah
·      Nafi’ bin al-azraq (pimpinan al-Azariqah)
·      Abdullah bin Basyir
·      Zubair bin Ali
·      Qathari bin Fujaah
·      Abd al-Rabih
·      Abd al Karim bin ajrad
·      Zaid bin Asfar
·      Abdullah bin ibad[9]

2.      Tokoh-tokoh Murji’ah
Pemimpin utama Murji’ah adalah Hasan bin Bilal al Muzi, Abu Sallat al samman, Dirrar bin Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan pengikut Murji’ah sehingga aliran ini terpecah menjadi beberapa sekte. Tokoh Murjia’ah Moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa bagaimanapun besarnya dosa seseorang, kemungkinan mendapat ampunan dari Tuhan masih ada. Tokoh Murji’ah eksterm adalah Jahaf bin Shafwan. Berpendapat, sekalipun seseorang menyatakan dirinya musyrik, orang itu tidak dihukumkan kafir[10].



C.  Pemikiran Teologi Khawarij Dan Murji’ah
1.      Pemikiran Teologi Khawarij
Di antara doktrin-doktrin pokok Khawarij sebagai berikut:
·      Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
·      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
·      Setelah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at Islam, ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman[11].
·      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng,.
·      Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah terjadi arbitrase (tahkim), ia dianggap telah menyeleweng.
·      Mu'awiyah dan Amr bin al-Ash serta Abu Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir[12].
·      Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir .
·      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula[13].
·      Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-harb (negara musuh), sedangkan golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (negara Islam)[14].
·      Seorang harus menghindari dari pimpinan yang menyeleweng.
·      Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk ke dalam neraka).
·      Amar ma'ruf nahi munkar.
·      Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar)
·      Al-Qur’an adalah makhluk[15].
·      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan[16].
Bila dianalisis secara mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum Khawarij dapat dikategorikan dalam tiga kategori: politik, teologi dan sosial. Dari poin a sampai dengan g dikategorikan sebagai doktrin politik sebab membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala negara (khilafah).
Khawarij dapat dikatakan sebagai sebuah partai politik. Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral Khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Mu'awiyah yang secara teoritis tidak pantas mempimpin negara, karena ia seorang tulaqa[17].
Mereka menolak untuk dipimpin orang yang dianggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengesahkannya menjadi khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka. Dibuat pulalah doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada poin h dan k. Akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, Khawarij harus menanggung akibatnya. Mereka selalu dikejar-kejar dan ditumpas oleh pemerintah. Kemudian perkembangannya, sebagaimana dituturkan Harun Nasution, kelompok ini sebagian besar sudah musnah. Sisa-sisanya terdapat di Zanzibar, Afrika utara, dan Arabia selatan[18].
Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yakni dari poin j sampai o, dapat dikategorikan sebagai doktrin teologis sosial. Doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok Khawarij sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin Mu'tazilah[19].
Khawarij pada dasarnya merupakan orang-orang baik, hanya saja keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras yang aspirasinya dikucilkan dan diabaikan penguasa, ditambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadikan mereka bersikap ekstrim[20].

2.      Pemikiran Teologi Murji’ah
Doktrin-doktrin pokok Murji’ah yaitu: Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam)[21].
Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar, dan ringan (mortal and venial sains), tauhid, tafsir al-Qur’an, eskatologi, pengampunan dosa besar, kemaksuman Nabi (the impeccability of the prophet), hukuman atau dosa (punishment of sains), ada yang kafir (infidel) di kalangan generasi awal Islam, tobat (redress of wrongs), hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predestination)[22].
             Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:[23]
a.       Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Mu'awiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b.      Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c.       Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:[24]
a. Menunda hukuman atas Ali, Mu'awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b.  Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.  Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
            Sementara itu, Abu ‘A’la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:[25]
a.    Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan prbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
b.    Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.



BAB 3
KESIMPULAN
1.    Khawarij merupakan aliran yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Hal ini terjadi karena tidak setuju dengan keputusan Ali bin Abi Thalib dalam menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Atau dapat dikatakan tidak setuju dengan adanya tahkim (arbitrase).
2.    Sedangkan Murji'ah yaitu golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan yang terjadi pada kaum Khawarij dan Syi’ah yang sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah. Dalam pertentangan inilah timbul suatu golongan baru yang ingin bersifat netral dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu.
3.    Munculnya aliran-aliran kalam seperti Khawarij dan Murji’ah tidak terlepas dari permasalahan politik dan teologi.
4.    Aliran-aliran Khawrij dan Murji’ah tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai sekarang adalah aliran As’ariyah dan Maturidiyah yang keduanya disebut Ahlussunnah wal-jama’ah.


BAB 4
PENUTUP
Alhamdulillah, lantunan kalimat syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T. yang Maha Agung yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang singkat ini.
Kepada para pembaca semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi kita kelak.
Akhirnya, dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT, selesailah penulisan       makalah ini, semoga oleh Allah SWT dicatat sebagai amal kebajikan untuk kemudian dapat menjadi bekal kami di Akhirat kelak.
Namun penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan kedepan. Semoga kita senantiasa  mendapat lindungan Allah SWT. Amien


DAFTAR PUSTAKA
Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Baghdadi, Al-Farq baina Al-Firaaq, Al-Azhar, Mesir, 1037.
Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, Libanon, Beirut, tt.
Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah wa Nasy’atu Ilmi Al-Kalami ‘Inda Al-Muslimin, Maktabah wa mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa auladuhu, Haidan Al-Azhar, Mesir. cet.II,1958.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI. Press,cet.1.1985.
Amir-Najjar, Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa falsafatan terj. Afif Muhammad dkk., Lentera. Cet I. Bandung, 1993.
Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947.
Cyril Glasse, The concise Encyclopedia of Islam, Staceny international, London, 1989, Departemen Agama RI, Ensiklopedi islam, 1990.
Ahmad Amin, Fajrul Islam, jilid I, Islam, Ej. Srill Leiden, 1961.
Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Univesitas Indonesia, Jakarta, 1978.
Classe, loc. cit.; Gibb and Kremmers, loc. cit.
Gibb and Kremmers, op. cit.
W. Wontgomery Watt, Early Islam: Collected Articles, Eidenburg, 1990.
Al-Bagdadi, op. cit.
Nurcholid Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Cet II, Jakarta, 1985.
Abul A’la Al-Maududi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, tej. Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung,1994.
http://kependidikanislam2010.blogspot.com/2011/06/aliran-murjiah.html







[1] Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al-Baghdadi, Al-Farq baina Al-Firaaq, Al-Azhar, Mesir, 1037, hlm.75.
[2]  Ibnu Abi Bakar Ahmad al-Syahratani, al-Milal wa al-Nihal, Dar al-Fikr, Libanon, Beirut, tt. Hlm. 114.
[3] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah wa Nasy’atu Ilmi Al-Kalami ‘Inda Al-Muslimin, Maktabah wa mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa auladuhu, Haidan Al-Azhar, Mesir. cet.II,1958,hlm.264
[4] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI. Press,cet.1.1985.hlm.11.
[5] Amir-Najjar, Al-Khawarij: Aqidatan wa fikratan wa falsafatan terj. Afif Muhammad dkk., Lentera. Cet I. Bandung, 1993, hlm. 5.
[6] Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947, hlm. 109.
[7] Cyril Glasse, The concise Encyclopedia of Islam, Staceny international, London, 1989, hlm. 288-9; Departemen Agama RI, Ensiklopedi islam, 1990, hlm. 633-6; Ahmad Amin, Fajrul Islam, jilid I, Islam, Ej. Srill Leiden, 1961, hlm. 412
[8] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Univesitas Indonesia, Jakarta, 1978), hlm. 23.
[10] http://kependidikanislam2010.blogspot.com/2011/06/aliran-murjiah.html
[11] Nasution, op. cit., hlm. 12
[12] Al-Bagdadi, op. cit., hlm. 73
[13] Nurcholid Madjid (Ed.), Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Cet II, Jakarta, 1985, hlm. 12.
[14] Ibid., hlm. 13
[15] Madzkur, op. cit., hlm. 110
[16]Madjid, loc. cit.
[17] Tulaqa adalah bekas kaum musyrikin Mekah yang dinyatakan bebas pada hari jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin. Muhammad Al-Ghazali, Fiqhu As-Sirah, tej.Abu Laila, Al-Ma’arif,cet.10,t.t. hlm.647
[18] Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology: An Extended Survery, At Univ Press, Eidenburgh, 1987, hlm. 23; Departemen Agama RI, op. cit., hal. 633.
[19] Gibb and J. H. Krammers, loc. cit.
[20] An-Najjar, op. cit., hlm. 56.
[21] Classe, loc. cit.; Gibb and Kremmers, loc. cit.
[22] Gibb and Kremmers, op. cit., hlm. 412.
[23] W. Wontgomery Watt, Early Islam: Collected Articles, Eidenburg, 1990, hlm. 181.
[24] Nasution, Teologi Islam, op. cit., hlm. 22-3.
[25] Abul A’la Al-Maududi, Al-Khalifah wa Al-Mulk, tej. Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung,1994, hlm.79-80.

1 komentar:

maeganquach mengatakan...

How to find the best casinos in Arizona
Looking for the best casinos in 이천 출장마사지 Arizona? We compiled a list of the most 서귀포 출장샵 popular and 영주 출장샵 convenient casino apps in Arizona. You 창원 출장안마 can 전라남도 출장샵 get up to 25% off

Posting Komentar