MEMENUHI TAKARAN DAN TIMBANGAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang Masalah
Islam sebagai agama yang mengutamakan prisip keadilan, menjunjung
tinggi nilai persaudaraan antara sesama muslim, menegakkan kebenaran dan
menghilangkan kebatilan. Islam mengatur seseorang dalam melakukan jual beli,
yakini dituntut untuk adil dengan memenuhi takaran dan timbangan. Dengan
demikian tidak ada salah satu pihak yang dirugikan.
Dari uraian diatas, kami ingin membahas “Memenuhi Takaran dan
Timbangan”, semoga pembahasan ini bisa menjadi tambahan
ilmu serta bisa kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya. Amien……
B.
Rumusan Masalah
1.
Ayat-ayat
apa sajakah yang menjelaskan tentang memenuhi takaran dan timbangan?
2.
Bagaimanakah
tafsiran ayat-ayat tersebut?
3.
Bagaimanakah
munasabah ayat-ayat tersebut?
4.
Apa sajakah pelajaran yang dapat kita ambil
dari ayat-ayat tersebut? (kesimpulan ayat)
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui ayat-ayat yang menjelaskan tentang memenuhi takaran dan timbangan.
2.
Untuk
mengetahui tafsiran ayat-ayat tersebut.
3.
Untuk
mengetahui munasabah ayat-ayat tersebut.
4.
Untuk
mengetahui pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat-ayat tersebut (kesimpulan ayat).
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Ayat-ayat Yang Menjelaskan Tentang Memenuhi
Takaran Dan Timbangan
1.
Surat
Al-Isra’ ayat 35 yang berbunyi:
وَأَوْفُوْاالكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ
وَزِنُوا بِالقِسْطَاسِ المُسْتَقِيْمِقلى ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيْلًا (الإسراء:35)
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah
dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”.
2.
Surat
Hud ayat 84-85 yag berbunyi:
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًاقلى
قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواللهَ مَالَكُمْ مِنْ إلهٍ غَيْرُهُقلى
وَلَا تَنقُصُواالمِكْيَالَ وَالمِيْزَانَ إِنِّى أَراكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّى
أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيْطٍ (هود: 84)
وَيَا قَوْمِ أَوْفُوْا المِكْيَالَ وَالمِيْزَانَ
بِالقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الأَرْضِ
مُفْسِدِيْنَ((هود: 85)
“Dan kepada
(penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu
dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan
azab hari yang membinasakan (kiamat)."
“Dan Syu'aib
berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan
janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan”.
3.
Surat Al-A’raf ayat 85 yang berbunyi:
وَإِلَى
مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًاقلى قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواللهَ
مَالَكُمْ مِنْ إلهٍ غَيْرُهُقلى قَدْ جَائَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ
رَبِّكُمْ فَأَوْفُواالكَيْلَ وَالمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ
أَشيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِى الأرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَاقلى ذلِكُمْ
خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ (الأعراف : 85)
“Dan (Kami
telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman."
4.
Surat
Al-Muthaffifin ayat 1-6, yang berbunyi:
وَيْلٌ
لِلْمُطَفِّفِينَ﴿١﴾الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ
يَسْتَوْفُونَ﴿٢﴾وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ
وَزَنُوهُمْ
يُخْسِرُونَ﴿٣﴾أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾لِيَوْمٍ
عَظِيمٍ﴿٥﴾
يَوْمَ يَقُومُ
النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ(6)
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.
(Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Rabb semesta alam”.
B.
Tafsiran Ayat-ayat Yang Membahas Tentang Memenuhi Takaran dan
Timbangan
1.
Tafsiran Surat
Al-Isra’ ayat 35
وَأَوْفُوْاالكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالقِسْطَاسِ
المُسْتَقِيْمِقلى ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلًا (الإسراء:35)
“Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
v Mufradat
أَوْفُوْا = وَفَاءٌ= menepati / menyempurnakan, sempurnakanlah
الكَيْلَ = الوَزْنُ takaran/
timbangan=
القِسْطُ= العَدْلُ adil=
Kata al –qisthas atau al-qusthas
ada yang memahami dalam arti neraca, ada
juga dalam arti adil. Kata ini adalah salah satu kata assing dalam hal ini
Romawi yang masuk berakulturasi dalam perbendaharaan bahasa arab yang digunakan
al-Quran, demikian pendapat Mujahid yang ditemukan dalam shahih al-Bukhari.
Kedua maknanya yang dikemukakan di atas dapat dipertemukan, karena untuk
mewujudkan keadilan anda memerlukan tolak ukur yang pasti (neraca/timbangan)
dan sebaliknya bila anda menggunakan timbangan yang benar dan baik pasti akan
lahir keadilan. Hanya saja kita jika kita memahami ayat ini ditunjukkan kepada
kaum muslimin, maka memahami sebagi timbangan lebih tepat dan sesuai. Sedang
dalam surat al-An’am karena ia adalah sindiran kepada kaum musyrikin, maka
disana digunakan kata bilqis yang berarti adil untuk mengisyaratkan bahwa transaksi
yang mereka lakukan bukanlah yang bersifat adil. Demikian Ibn Asyur.
Penyempurnaan takaran dan
timbangan oleh ayat di atas dinyatakan baik dan lebih bagus akibatnya. Ini
karna menyempurnaan takaran atau timbangan melahirkan rasa aman, ketentraman
dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya dapat tercapai melalui
keharmonisan antara anggota masyarakat, yang antara lain bila masing-masing
memberi apa yang berlebihan dari kebutuhannya dan menerima yang seimbang dengan
haknya. Ini tentu saja memerlukan rasa aman yang menyangkut alat ukur, baik
takaran maupun timbangan. Siapa yang membenarkan bagi dirinya mengurangi hak
seseorang, maka itu mengantarnya membenarkan perlakuan serupa kepada siapa
saja, dan ini mengantar kepada tersebarnya kecurangan. Bila itu terjadi, maka
rasa aman tidak akan tercipta, dan ini tentu saja tidak berakibat baik bagi
perorangan dan masyarakat. Dalam penafsiran ayat al-Imran 152 al –Imran
penulisan antara lain mengemukakan pandangan Thahir Ibn Asyur tentang
penggunaan perintah aufu setelah
redaksi ayat sebelumnya menggunakan bentuk larangan. Ini menurutnya untuk
mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna timbangan
dan takaran sebagaimana difahami dari kata aufu yang berarti
sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekedar pada upaya tidak
mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat ukur masih
sangat sederhana. Kurma dan anggurpun mereka ukur bukan dengan timbangan tetapi
takaran. Hanya emas dan perak yang mereka timbangan. Perintah menyempurnakan
ini juga mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan
yang merupakan salah satu yang mereka akui dan bangga sebagai sifat terpuji.
Penggunaan kata idza kiltum
atau apabila kamu menakar merupakan penekanan tentang pentingnya penyempurnaan
takaran, bukan hanya sekali dua kali atau bahkan seringkali, tetapi setiap
melakukan penakaran, kecil atau besar untuk teman atau lawan. Dalam QS.
Al-An’am (6): 152 kata tersebut tidak disebutkan. Hal ini agaknya karena disini
perintah tersebut didahului oleh kata idza /apabila yang mengandung makna
isyarat pengulangan terjadinya sesuatu. Disisi lain ayat ini ditunjukkan kepada
kaum muslimin, sedang ayat al-An’am merupakan sindiran kepada kaum musyrikin.
Seorang muslim dituntut oleh agamanya untuk menyempurnakan hak orang lain,
setiap saat dan sama sekali tidak boleh menganggap remeh hak itu apalagi
mengabaikannya.
Kata ta’wil terambil dari
kata yang berarti kembali. Ta’wil
adalah pengembalian. Akibat dari sesuatu dapat dikembalikan kepada penyebab
awalnya, dari sini kata tersebut difahami dalam arti akibat atau kesudahan
sesuatu.
2.
Tafsiran Surat
Hud ayat 84-85
v Surat Hud ayat 84
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًاقلى
قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُواللهَ مَالَكُمْ مِنْ إلهٍ غَيْرُهُقلى
وَلَا تَنقُصُواالمِكْيَالَ وَالمِيْزَانَ إِنِّى أَراكُمْ بِخَيْرٍ وَإِنِّى
أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ مُحِيْطٍ (هود: 84)
“Dan kepada madyan saudara mereka,
syu’aib. Dia berkata : “wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan
selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku
melihat kamu dalam keadaan yang baik dan sesungguhnya aku khawatir terhadap
kamu akan azab hari yang meliputi ”
(surat Hud ayat 84).
v Mufradat
تَنقُصُوا= نَقِيْصٌ= kurangi, mengurangi
مُحِيْطٌ= أَحَاطَ= meliputi
Selanjutnya
ayat ini dan ayat berikut beralih kepada kisah yang lain, yaitu kisah Nabi
Syu’aib as. Dan kepada penduduk kota atau suku Madyan, Kami utus saudara Mereka, Syu’aib,yang dikenal juga sebagai “Khatib/orator para Nabi”. Dia
berkata: “wahai kaumku, sembahlah Allah Tuhan
yang maha Esa sekali-kali tiada bagi
kamu satu Tuhan pun yang memelihara
kamu dan menguasai seluruh makhluk selain
Dia.”
Setelah
memerintahkan bersikap adil terhadap Allah dengan mengesakan-Nya dilanjutkan
dengan perintah berlaku adil terhadap manusia, antara lain dengan menyatakan: “dan janganlah kamu kurangi takaran dan
ditakar dan jangan juga timbangan dan yang ditimbang, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan
yang baik, yakni mampu, menyenangkan dan tidak berkekurangan, sehingga
tidak ada dalih sedikitpun bagi kamu bila terus mempersekutukan Allah dan
berlaku tidak adil – aku khawatir- kamu dijatuhi azab hari yang meliputi, yakni yang membinasakan segala sesuatu,
tidak meninggalkan yang kecil atau besar kecuali dilibasnya. ”
Madyan
pada
mulanya adalah nama putra Nabi Ibrahim as. Dari istri beliau yang ketiga yang
bernama Qathura dan yang beliau kawini pada akhir usia beliau. Madyan kawin
dengan putri Nabi Luth as. Selanjutnya kata Madyan di pahami dalam arti suku
keturunan Madyan putra Nabi Ibrahim as. Itu yang berlokasi dipantai laut merah
sebelah tenggara gurun Sinai, yakni
antara hijaz, tepatnya Tabuk di Saudi Arabia, dan teluk ‘qabah. Menurut
sementara sejarawan, opulasi mereka sekitar 25.000 orang. Sementara ulama
menunjuk desa al-Aikah sebagai lokasi pemusnahan mereka. Dan ada juga yang
berpendapat bahwa al-Aikah adalah nama lain dari Tabuk. Kota Tabuk pernah
menjadi ajang perang antara Nabi Muhammad saw. Dan kaum musyrikin pada tahun
9H/630 M.
Syu’aib adalah nama yang digunakan al-Qur’an dan
dikenal dalam bahasa Arab. Dalam Kitab Perjanjian Lama beliau dinamai “Reheul”
(keluaran 2: 18) juga “Yitro” (keluaran 3:1) putra Nabi Musa as.
Kata (خير) khair/baik,
disamping makna yang dikemukakan diatas, dapat diperluas lagi sehingga tidak
hanya terbatas dalam rezeki yang bersifat material, tetapi juga ruhani dalam
arti kalian juga sehat pikiran dan memiliki pengetahuan yang seharusnya dapat
kalian gunakan untuk mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa, serta membangun
dunia, tidak mempersekutukan-Nya tidak juga melakukan perusakan. Makna lain
dari ucapan Nabi Syu’aib as. Yang juga dapat ditampung oleh kalimat sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan
yang baik adalah memandang kamu dengan positif, dank arena itu aku
menasehati dan menuntuk kamu. Demikian Thabathaba’i.
Kata
(محيط) muhith terambil dari kata (أحاط) hatha yang berarti meliputi. Sesuatu yang
diliputi pastilah dikuasai oleh meliputinya. Dan bila Anda berkata hari meliputi,
maka segala sesuatu yang ditampung oleh hari itu baik siksa maupun bukan telah
berada dalam kekuasaan yang meliputinya. Siksa diakhirat juga dapat terjadi di
dunia. Siksa didunia antara lain berupa kecemasan dankejengkalan yang
menimbulkan perselisihan dan permusuhan yang meliputi semua orang, yaitu ketika
saat itu kecurangan telah merajalela, baik dalam bidang ekonomi maupun
transaksi lainnya.
v
Surat Hud Ayat 85
وَيَا قَوْمِ أَوْفُوْا المِكْيَالَ
وَالمِيْزَانَ بِالقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا
فِى الأَرْضِ مُفْسِدِيْنَ((هود: 85)
Dan, “wahai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia menyangkut hak-hak mereka,
dan janganlah kamu membuat kejahatan di bumi dengan menjadi perusak-perusak.”
v Mufradat
تَبْخَسُوا= بَخْسٌ= kurang atau curang
تَعْثَوْا= عَثَاءٌ= perusakan
Setelah melarang mengurangi takaran dan timbangan, yang boleh
jadi dipahami sekedar melakukan upaya perkiraan agar tidak kurang, bukan
ketepatannya, maka secara tegas Nabi Syu’aib as. Menegaskan perlunya
menyempurnakan timbangan. Ayat ini melanjutkan bahwa: dan Nabi Syu’aib as.
Berkata: “wahai kaumku, sempurnakanlah sekuat kemampuanmu takaran dan timbangan
dengan adil, dan janganlah kamu kamu merugiakan manusia, yakni berlaku curang
atau aniaya menyangkut hak-hak mereka, dan janganlah kamu membuat kejahatan di
bumi dengan menjadi perusak-perusak. ”
Kata (القسط) al-qisth biasa
diartikan adil, yaitu sinonim dari (العدل)
al-‘adlu/ adil. Memang banyak ulama yang mempersamakan maknanya, dan ada juga
yang membedakannya dengan berkata bahwa al-qisth berlaku adil anatara dua orang
atau lebih, keadilan yang menjadikan masing-masing senang. Sedang al-‘adlu
adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun timbangan dan takaran harus
menyenangkan kedua pihak.
Kata (تبخس) tabkhasul/ kamu
kurangi terambil dari kata (بخس) bakhs yang berarti
kekurangan akibat kecurangan. Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Ibn ‘Asyur,
mendefinisikan kata ini dalam arti pengurangan dalam bentuk mencela, atau
memperburuk sehingga tidak disenangi, atau penipuan dalam nilai atau kecurangan
dalam timbangan dan takaran dengan melebihkan atau mengurangi.
Kata (تعثوا) ta’tsaw terambil
dari kata (عثاء) ‘atsa’ dan (عاث) ‘atsa yaitu perusakan atau bersegera
melakukan perusakan. Penggunaan kata tersebut disini bukan berarti jangan
bersegera melakukan perusakan sehingga bila tidak bersegera dapat ditoleransi,
tetapi maksudnya jangan melakukan perusakan dengan sengaja. Penggunaan kata itu
mengisyaratkan bahwa kesegeraan akibat mengikuti nafsu tidak menghasilkan
kecuali perusakan.
3.
Tafsiran Surat
Al-A’raf ayat 85
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًاقلى قَالَ يَا قَوْمِ
اعْبُدُواللهَ مَالَكُمْ مِنْ إلهٍ غَيْرُهُقلى قَدْ جَائَتْكُمْ
بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُواالكَيْلَ وَالمِيْزَانَ وَلَا
تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا
فِى الأرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَاقلى ذلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ (الأعراف : 85)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka,
Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata
dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu
kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman."
v Mufradat
جَاءَ = أَتَى=datang
بَيِّنَةٌ= دَلِيْلٌbukti=
Selanjutnya
ayat ini dan ayat berikut beralih kepada kisah yang lain yaitu, kisah nabi
syu’aib as. Redaksi ayat ini kembali serupa dengan redaksi kisah nabi-nabi
sebelum nabi luth as. Yaitu dan (kami telah mengutus) kepada penduduk negeri
atau suku madyan kami utus saudara mereka syu’aib yang dikenal juga sebagai
khotib/orator para nabi. “dia berkata : wahai kaumku sembahlah allah tuhan yang
maha esa tidak ada bagi kamu satu tuhanpun yang memelihara kamu dan menguasai
seluruh mahluk selainnya. Sungguh telah datang kepada kamu bukti yang nyata
yang membuktikan kebenaranku sebagai utusannya; bukti itu dari tuhan yang
seeenantiasa memelihara kamu maka karna itu patuhilah tuntunannya yang aku
sampaikan kepada kamu antara lain sempurnakanlah takaran dan yang ditakar dan
timbangan serta yang ditimbang, dan jangan kamu kurangi bagi manusia
barang-barang takaran dan timbangan yang kamu akan berikan kepada mereka dan
janganlah kamu membuat kerusakan dibumi dalam bentuk apapun sesudah
perbaikannyayang dilakukan allah atau juga manusia. Yang demikian itu lebih
baik bagi kamu dan anak keturunan serta generasi sesudah kamu jika betul betul
kamu orang mukmin.
Madyan pada mulanya
adalah nam putra nabi Ibrahim as; dari istri beliau yang ketiga yang bernama
Qatura dan yang beliau kawini pada ahir usia beliau. Madyan kawin dengan putri
nabi Luth as. Selanjutnya kata madyan dipahami dalam arti satu suku keturunan
madyan putra nabi Ibrahim as. Itu yang berlokasi dipantai laut merah sebelah
tenggara gurun Sinai, yakni antara hijaz, tempatnya tabuk disaudi arabiah dan
teluk aqobah. Menurut sementara sejarwan, populasi mereka sekitar 25 ribu orang
sementara ulam’ menunjuk desa al-aikah sebagai lokasi pemusnahan mereka dan ada
juga yang berpendapat bahwa al-aikah adalah nama lain dari tabuk. Kota tabuk
perna menjadi ajang perang antara nabi Muhammad SAW dan kaum musrikin pada
tahun 10 H/630 M.
Syu’aib
adalah nama yang digunakan al-qur’an dan dikenal dalam bahasa arab. Dalam kitab
perjanjian lama beliau dinamai Rehwel (keluaran 2: 18) juga Yitro (keluaran
3:1) beliau adalah mertua nabi musa as.
Kata
bayyinah/ bukti yang dimaksud oleh ayat ini, boleh jadi dalam arti mu’jizat,
yakni suatu peristiwa luar biasa yang ditantangkan kepada siapa yang tidak
mempercayai seorang nabi yang diutus kepadanya, dan yang ternyata bukti itu
membungkam mereka. Boleh jadi bukti dimaksud adalah keterangan lisan yang
menjadi dalil dan bukti kebenaran yang membungkam lagi tidak dapat mereka
tolak.
Kata
tabkhasu/kamu kurangi terambil dari kata bakhs yang berarti kekurangan akibat
kecurangan. Ibnu arabi sebagai mana dikutip oleh ibnu asyur mendefinisikan kata
ini dalam arti pengurangan dalam bentuk mencela, atau memperburuk sehingga
tidak disenangi, atau penipuan dalam nilai atau kecurangan dalam timbangan dan
takaran dengan melebihkan atau mengurangi.
Dari
ayat diatas terlihat bahwa nabi syu’aib as. Menekankan 3 hal pokok-setelah
tauhid-yang harus menjadi perhatian kaumnya, yaitu: pertama memlihara hubungan
harmonis, khususnya dalam interaksi ekonomi dan keuangan, kedua, memelihara
system dan kemaslahatan masyarakat umum, dan ketiga, kebebasan beragama.
Al-Biqa’I
memahami firmannya, yang demikian itu
lebih baik bagi kamu jika kamu orang-orang mikmin dalam arti seorang mukmin
mendapat ganjaran karna ia melakukan aktifitasnya atas dasar keimanan dan ini
menjadikan hal tersebut baik baginya, berbeda denga orang kafir yang tidak
memperoleh sedikit ganjaranpun diahirat kelak.
Thabathaba’I
memahami kebaikan penyempurnaan takaran atau timbangan, adalah rasa aman,
ketentraman dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya tercapai melalui
keharmonisan hubungan antara anggota masyarakat, yang antara lain dengan jalan
masing-masing member apa yang berlebihan dari kebutuhannya dan menerima yang
seimbang dengan hak masing-masing. Ini tentu saja memrlukan rasa aman
menyangkut alat ukur, baik takaran maupun timbangan. Siapa yang membenarkan
bagi dirinya mengurangi hak seseorang maka itu mengantarkan ia membenarkan
perlakuan serupa kepada siapa saja, dan ia mengantar kepada terserbarnya
kecurangan. Bila itu terjadi maka rasa aman tidak akan tercipta. Melakukan
perusakan dibumi demikian juga halnya, karna perusakan baik terhadap harta
benda, keturunan maupun jiwa manusia melahirkan ketakutan dan menghilangkan
rasa aman.
C.
Munasabah Ayat-ayat Yang Membahas Tentang Memenuhi Takaran dan
Timbangan
1.
Munasabah Surat
Al-Isra’ ayat 35
Pada beberapa ayat sebelumnya, dua ayat ini 34 -35, dan beberapa ayat
sesudahnya, Allah SWT menyebutkan 25 macam kewajiban yang harus dilaksanakan,
dimulai dengan perintah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan
diakhiri juga dengan pada dua ayat ini, Allah menyebutkan satu hal sama.
larangan dan dua perintah, yaitu larangan makan harta anak yatim, perintah
memenuhi janji, dan perintah menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil.
D.
Pelajaran Yang Dapat Kita Ambil Ayat-ayat Memenuhi Takaran dan
Timbangan (Kesimpulan Ayat)
1. Ancaman berat bagi orang-orang curang dalam jual-beli
(transaksi).
2. Bahaya curang dalam takaran dan timbangan.
3.Kewajiban manusia, memberikan seluruh milik orang lain yang
menjadi tanggungannya.
4. Pentingnya umat memahami agama.
5. Kewajiban menepati akad (menyempurnakan timbangan dan takaran)
sudah ada dalam syariat-syariat sebelumnya.
6. Semua
orang mempertanggung jawabkan semua perbuatannya di dunia di hadapan Allâh Azza wa Jalla
.
7. Setiap
orang harus adil dalam seluruh ucapan dan perbuatannya.
8. Penetapan
adanya Hari Akhir, Hari Pembalasan dan Hari Hisab.
9. Agungnya
Hari Kiamat, hari manusia berdiri di hadapan Rabbul alamin untuk
memperhitungkan amal hamba dan membalasnya.
10. Pentingnya
pembinaan umat berbasis iman kepada Hari Akhir.
BAB 3
PENUTUP
Alhamdulillah,
lantunan kalimat syukur kami panjatkan kepada Allah S.W.T. yang Maha Agung yang
telah memberikan rahmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
singkat ini.
Kepada
para pembaca semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi pengetahuan yang
bermanfaat bagi kita kelak.
Akhirnya, dengan memanjatkan rasa syukur kepada Allah SWT,
selesailah penulisan makalah ini, semoga oleh Allah SWT dicatat sebagai amal
kebajikan untuk kemudian dapat menjadi bekal kami di Akhirat kelak.
Namun kami sangat mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
kedepan. Semoga kita senantiasa mendapat
lindungan Allah SWT. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab M Quraish, 2006, Tafsir
Al-Misbah, Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
Tafsîru
al-Qur`ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsîr
http: Surah Al-Isra' - Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
sangat bermanfaat makasih banyak postingnya
Posting Komentar