kemiskinan dan pengentasannya dalam pandangan islam
KEMISKINAN DAN PENGENTASANNYA DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh:
Iswatul Hasanah
120721100098
Abstrak
Masalah kemiskinan
yang merajalela di berbagai negara, terlebih di Negara Muslim yang tak pernah
terselesaikan, menjadi suatu fenomena yang harus dipecahkan. Karena kemiskinan
menjadi beban yang sangat menakutkan bagi setiap orang yang menghadapinya.
Sebagian orang
menganggap bahwa kemiskinan bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan,
karena miskin merupakan takdir dari Allah SWT yang harus dihadapi. Namun pada
hakikatnya, Islam tidak menghendaki umatnya menjadi miskin.
Islam sangat memperhatikan kesejahteraan
umatnya. Untuk mengentaskan kemiskinan yang ada, Islam mempunyai cara dan
alternatif yang variatif.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulisan
ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Islam memandang kemiskinan, dan
bagaimana Islam mengatasi dan mengentaskan kemiskinan yang melanda umat muslim
di dunia.
Kata Kunci:
Kemiskinan, Islam, Pengentasan kemiskinan.
A.
Pendahuluan
Masalah
kemiskinan selalu menjadi topik pembicaraan yang marak diperbincangkan oleh
masyarakat. Di berbagai Negara, bahkan di Negara-negara muslim, kemiskinan
bukanlah hal yang aneh, malah sebaliknya kemiskinan merajalela di berbagai
Negara yang mayoritas penduduknya muslim. Hal ini sangat disayangkan, padahal
Islam sangat memerangi kemiskinan, serta menganjurkan setiap muslim agar kaya
dan tidak bergantung pada orang lain.
Islam
sebagai agama rahmatan lil ‘alamin menganjurkan setiap muslim agar
bekerja dengan tangannya sendiri, sehingga bisa memenuhi kebutuhan yang mereka
inginkan. Kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan primer, sekunder maupun
tersier. Disaat seorang muslim mampu bekerja, dia telah melaksanakan suatu
ibadah yang nantinya juga akan menjadi bekal dia menuju kehidupan sebenarnya
yaitu akhirat.
Namun
sebagian orang menganggap kemiskinan bukanlah hal yang perlu diperdebatkan.
Sebagian mereka memandang bahwa kemiskinan sebagai latihan untuk mendapatkan
derajat yang tinggi melalui kesabaran menghadapi apa yang sudah menjadi takdir
mereka. Bahkan mereka merasa aman dengan posisi mereka dalam kemiskinan. Hadist
Rasulullah “Ya Allah, jadikanlah saya hidup dalam kemiskinan, matikanlah
dalam kemiskinan dan kumpulkanlah saya dalam golongan orang miskin”. Hadist
ini menunjukkan bahwa Rasulullah memberikan apresiasi pada orang miskin.
Sedangkan hadist Rasulullah yang lain “Ya Allah aku berlindung pada-Mu dari
kefakiran, kekurangan, dan aku berlindung dari menzalimi dan dizalimi.” Hadist
ini memberikan pengertian sebaliknya yaitu bahwa Rasulullah menganjurkan agar
setiap muslim menjadi kaya dan terhindar dari kefakiran.
Bila
dilihat secara tekstual, terdapat kontradiksi antara 2 hadist tersebut. Maka
melalui tulisan ini, penulis ingin menggali sudut pandang islam terhadap
kemiskinan melalui 2 hadist yang secara tekstual mengandung kontradiksi
tersebut. Serta bagaimana Islam memberikan solusi untuk menanggulangi masalah
kemiskinan ini.
B.
Hadist
Nabi Muhammad Tentang Kemiskinan
1.
Matan
Hadist
a.
Hadist
Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة و عبد الله بن سعيد قالا حدثنا أبو خالد الأحمر
عن يزيد
ابن
سنان عن أبى المبارك عن عطاء عن أبى
سعيد الخدرى قال أحبوا المساكين
فإنى سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول في دعائه اللهم أحيني مسكينا
وأمتني
مسكينا واحشرني في زمرة المساكين
Said alhudriy berkata: “Cintailah orang miskin, saya mendengar nabi
berdoa,”Ya Allah, jadikanlah saya hidup dalam kemiskinan, matikanlah dalam
kemiskinan dan kumpulkanlah saya dalam golongan orang miskin.”[1]
b.
Hadist
Riwayat Abu Daud
حدثنا موسى بن إسمعيل حدثنا حماد أخبرنا إسحق بن
عبد الله عن سعيد بن يسار
عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول اللهم إني أعوذ بك من
الفقر والقِلَّةِ والذِّلِّة وأعوذبك مِنْ أن
أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
Nabi berdoa: “Ya Allah aku berlindung pada-Mu kefakiran,
kekurangan, dan aku berlindung dari menzalimi dan dizalimi.”[2]
Dari kedua hadist diatas menunjukkan perbedaan pandangan islam terhadap
kemiskinan. Hadist yang pertama menyatakan bahwa Rasulullah berdoa memohon agar
Beliau dijadikan orang miskin, mati dalam keadaan miskin dan berkumpul bersama
orang-orang miskin. Sedangkan hadist yang kedua menyatakan bahwa Rasullah
memohon perlindungan kepada Allah dari kefakiran (yang derajatnya lebih rendah
dari miskin), kekurangan dan dari kedzaliman.
Penulis melihat terjadi kontradiksi
antara dua hadist tersebut. Bagaimana sebenarnya Islam memandang kemiskinan,
maka untuk mengetahui pandangan Islam melalui kedua hadist ini, penulis akan membahasnya
secara kontekstual.
2.
Keshahihan
Hadist
Untuk mengambil suatu kesimpulan mengenai hadist
maka harus diperhatikan keshahihan hadist tersebut. Sangatlah penting untuk memahami hadist secara
tepat. Karena terkadang seseorang salah dalam memaknai sebuah hadist. Misalkan
kata “Miskin” dalam hadist dibawah ini adalah tawadhu’ atau rendah hati
lawan dari takabbur.[3]
Bukan miskin dalam arti kekurangan harta.
a)
Hadist
Pertama
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة و عبد الله بن سعيد قالا حدثنا أبو خالد
الأحمر عن
يزيد ابن
سنان عن أبى المبارك عن عطاء عن أبى
سعيد الخدرى قال أحبوا
المساكين فإنى
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم
يقول في دعائه اللهم
أحيني مسكينا
وأمتني مسكينا واحشرني في زمرة
المساكين
Said alhudriy berkata: “Cintailah orang
miskin, saya mendengar nabi berdoa,”Ya Allah, jadikanlah saya hidup dalam
kemiskinan, matikanlah dalam kemiskinan dan kumpulkanlah saya dalam golongan
orang miskin. (HR.
At-Tirmidzi no.2275 dan Ibnu Majah no.4126).
Hadist ini
diriwayatkan melalui 4 jalur sahabat:
·
Abu Sai’id Al-Khudry RadiyaAllahu anhu
Sanad riwayat
ini sangat lemah karena: Yazid bin Sinan seorang yang dhoif (Taqribut
Tadhib, hal. 1076 no.7778). dan Abul Mubarak, seorang yang majuhul ‘ain
(Taqribut Tadhib, hal. 1200 no.8404).
·
Anas bin Malik RadiyaAllahu anhu
Sanad riwayat
ini lemah atau bahkan sangat lemah dikarenakan Al-Harist bin An-Nu’man, munkarul
Hadist.
·
‘Ubadah bin Ash-Shamit RadiyaAllahu anhu
Sanad riwayat
ini lemah karena ‘Ubaid bin Ziyaad Al-Auza’iy seorang yang majuhul al-haal
(lihat Tarikh Dimasyq, 38/193-194)
·
Abdullah bin Umar RadiyaAllahu anhuma
Sanadnya sangat lemah karena: Shadaqah bin
‘Abdillah bin As-Samin seorang yang dhoif (didhoifkan oleh jumhur
ahli hadist). Talhah bin Zaid Al-Quraisy seorang yang matruk. Musa bin Ubaidah
al-Madani seorang yang dhoif. Bahkan beberapa ulama menyifati munkarul
hadist.
Maka hadist ini dikatakan lemah dan belum bisa
terangkat ke derajat hasan. Didhoifkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’
al-Fatawa 18/357.[4]
b)
Hadist
Kedua
حدثنا موسى بن إسمعيل حدثنا حماد أخبرنا إسحق بن
عبد الله عن سعيد بن
يسارعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول اللهم إني أعوذ
بك من الفقر والقِلَّةِ والذِّلِّة وأعوذبك مِنْ أن أَظْلِمَ أَوْ
أُظْلَمَ
Telah menceritakan kepada kami Musa, ia berkata telah
menceritakan kepada kami Hammad- yakni Ibnu Salamah-dari Ishaq bin ‘Abdillah
bin Abu Talhah, dari Sa’id bin Yasar, dari Abu Hurairah, dahulu Nabi
SallaAllahualaihi wasallam pernah berdoa, “Ya Allah aku berlindung pada-Mu kefakiran kekurangan, dan aku
berlindung dari menzalimi dan dizalimi.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud (Sunan no. 1544), An-Nasai (Sunan
As-Sughra no.54660; al-kubra n0. 7844); Ibnu Majah (Sunan no. 3842); Ahmad
(Musnad no. 7992); Al-Hakim (Al-Mustadrak 1/540).
Menurut Ulama, hadist ini perawinya adalah para perawi Ash-Shahihain, dan
hadist ini shahih. Syaikh Al-Albaniy berkata, “Sanadnya jayyid.” (Takhrij
Al-Misykah no. 2401).[5]
C.
Makna
Hadist Dengan Pendekatan Kontekstual
Ada dua aspek
yang perlu dipertimbangkan ketika menganalisa sebuah teks keagamaan –termasuk
teks hadits, yaitu mâ fî al-nash (in the text) dan mâ haula
al-nash (around the text). Di antara prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan dalam memahami mâ fîal-nash adalah prinsip linguistic,
dengan memperhatikan aturan-aturan gramatikal bahasa Arab. Prinsip lainnya
adalah prinsip tematis, dengan menyadari bahwa satu teks hadits tidak berdiri
sendiri, melainkan ia harus difahami dengan mempertimbangkan hadits-hadits lain
dan ayat al-Qur’an yang relevan. Namun, pemahaman sebatas mâ fî al-nash
tidaklah cukup untuk memberi gambaran utuh dan komprehensif mengenai setting
sosial-budaya, politik yang melingkupinya. Oleh sebab itu mempertimbangkan
aspek mâ haula al-nash sangatlah penting dalam memahami suatu hadits. Di
antara prinsip yang harus dikedepankan ketika membidik mâ haula al-nash
adalah prinsip historik, dengan memahami latar situasional masa lampau di mana
hadits muncul baik menyangkut kondisi sosiologis masyarakat Arab secara umum
maupun situasi-situasi khusus yang melatar belakangi munculnya sebuah hadits.[6]
Maka untuk
memaknai sebuah hadist, seyogyanya tidak hanya menggunakan pemahaman secara
tekstual, melainkan diperlukan pemahaman secara kontekstual yang
mempertimbangkan aspek lain yang melatarbelakangi turunnya hadist tersebut, dan
pemahaman dari ayat, ataupun hadist yang lain, yang mendukung keberadaan hadist
tersebut.
1.
Hadist
Pertama
Hadist tersebut sering dipahami, bahwa Islam mengajarkan agar
umatnya lebih baik menjadi orang miskin. Padahal hadist tersebut diungkapkan
oleh Nabi karena Nabi melihat orang kaya yang zalim dan tidak mau membayar
zakat. Itulah sebabnya Nabi berdoa agar tidak dijadikan dari golongan mereka.
Lebih baik bersama dengan orang miskin yang bertakwa. Hadist ini tidak berarti menganjurkan
kemiskinan. Hal ini terbukti dengan kewajiban zakat bagi muslim yang memenuhi
syarat. Jika dianjurkan menjadi miskin maka siapa yang akan menjadi muzakki?[7]
Al-Subki mengatakan bahwa yang dimaksud ahyini miskinan adalah
hidup dengan hati yang sakinah atau tenang, miskinan tidak diartikan
miskin dalam artian bentuk dari fakir. Memang semasa hidup, Nabi bukanlah orang
yang bergelimang harta tetapi juga bukan orang fakir, beliau hidup dalam
keadaan berkecukupan untuk diri dan keluarganya. Al-Baihaqi mengatakan bahwa
yang dimaksud wa amitni miskinan adalah Nabi meminta mati tidak dalam
keadaan sombong dan congkak, karena al-maskanah diambil dari kata
al-sukun yang rendah hati.[8]
2.
Hadist
Kedua
Taqiyuddin al-Nabhani dalam bukunya Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif menyatakan: kata faqru (kemiskinan), menurut bahasa,
maknanya adalah ihtiyaj (membutuhkan). Bisa dinyatakan dengan: faqara
wa iftaqara lawan kata dari istaghna (tidak membutuhkan atau kaya), iftaqara
ilaihi maknanya adalah ihtaja (membutuhkan). Ia adalah faqiir
(orang yang membutuhkan), yang bentuk jama’nya adalah fuqara’. Afqarahu
lawan kata dari aghnanhu. Kata faqru
adalah bentuk mashdar (gerund), lawan kata dari ghaniyu. Hal itu
karena seseorang bisa saja membutuhkan sesuatu, sementara dia tidak memiliki
sesuatu yang dibutuhkan.[9]
Dalam doa-doa yang diajarkan kepada para sahabat, Nabi
menitikberatkan supaya dihindarkan dari ujian (fitnah) yang muncul dari keadaan
fakir. Sebagaimana diinformasikan oleh istri beliau, A’isyah r.a. bahwa Nabi
biasa mengucapkan doa:
اللهم إني أعوذ بك من فتنة النار وعذاب النار
وفتنة القبر وعذاب القبر وشر فتنة
الغني و
شر فتنة الفقر
“Ya Allah, sungguh aku meminta perlindungan kepada-Mu
dari ujian dineraka, siksa di neraka, ujian dalam kubur, siksa dalam kubur, buruknya ujian ketika
kaya dan buruknya ujian ketika fakir. (HR Imam Muslim dalam al-Jâmi’ dari ’Aisyah, Kitâb al-Dzikr
wa al- Du’â wa al-Taubah wa al-Istighfâr, Bâb al-Ta’awwudz min Syarr al-Fitan wa
Ghairihâ)
Sahabat Abu Hurairah r.a., yang sempat hidup tiga tahun
bersama Nabi di akhir kehidupannya, juga menginformasikan bahwa Nabi sering
meminta perlindungan dari empat hal: “Rasulullah saw. meminta
perlindungan dari kesusahan hidup, menemui kemalangan, jeleknya putusan qadha’ dan gembiranya musuh
(melihat kesusahan
yang lawannya)”
(HR Imam al-Bukhârî dalam al-Jâmi’dari Abu Hurairah,
Kitâb al-Da’awât, Bâb al-Ta’awwudz min Jahd al-Balâ`)
Doa pagi dan sore hari yang diajarkan oleh Rasulullah saw. juga
mendorong masyarakat madinah untuk giat mencari rezki. Doa tersebut adalah,
اللهم إني أسألك علما نافعا و رزقا طيبا وعملا
متقبلا
“Ya Allah, sungguh saya mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal
yang diterima.” (HR. Ibn Majah dalam al-Sunandari Ummu Salamah, Kitâb Iqâmat
al-Shalâh wa al-Sunnah Fîhâ,
Bâb Mâ Yuqâlu Ba’da Taslîm)
Cara pandang dan sikap seperti ini, merupakan langkah antisipatif
yang dilakukan oleh
Nabi untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya ketercukupan ekonomi dan bahayanya kemiskinan
di hati para penduduk Madinah, terutama kaum muhajirin dan kaum miskin lainnya.
Dari kedua hadist diatas bisa dianalisa, bahwasannya Islam tidak
memandang kemiskinan sebagai sebuah keadaan atau takdir yang harus dinikmati
oleh orang yang terkena nasib miskin, namun Islam mengajarkan betapa pentingnya
potensi dan kemampuan yang ada di setiap insan untuk dikelola dan dikembangkan
untuk menghindari mereka dari keadaan miskin, dengan berbagai cara yang efektif
dan dinamis.
Hadist Ibnu Majah yang meminta dijadikan dari golongan miskin tidak
dapat dipahami bahwa Nabi mencintai kemiskinan, karena akan menjadi
bertentangan dengan hadist lain yang ternyata Nabi meminta perlindungan pada
Allah dari kefakiran.
Hadist-hadist tersebut dapat dikompromikan bahwa pada dasarnya umat
Islam harus kuat secara ekonomi dan diberkahi. Seseorang akan mendapat berkah jika
hartanya dibelanjakan di jalan Allah dan akan menjadi berlipat-lipat.
Sebaliknya Nabi menghendaki menjadi
golongan yang miskin karena beliau melihat orang kaya tetapi tidak
membelanjakan hartanya di jalan Allah, congkak, sombong dan pelit. Karena itu
di neraka banyak dilihat orang-orang kaya tersebut.
Kandungan matan-matan hadist tersebut adalah bahwa Islam
mengajarkan agar umatnya memohon perlindungan pada Allah untuk dijauhkan dari kehidupan
yang menyengsarakan baik di dunia maupun di akhirat. Kebaikan dalam agamanya
berarti selalu menjadi orang yang bertakwa, kebaikan di dunia berarti tercukupi
kebutuhan hidup sebagai bekal menambah ibadah, kebaikan di akhirat berarti surga
menjadi tujuan hidup sebenarnya.[10]
Dalam pandangan islam, kekayaan dan peningkatannya merupakan suatu
tujuan yang penting, namun bukan tujuan akhir, melainkan sekedar tujuan antara.
Kekayaan bukanlah tujuan pokok atau sasaran utama manusia di muka bumi,
melainkan sarana bagi seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai
khalifah, dimana ia wajib memanfaatkan kekayaan tersebut demi pengembangan
segenap potensi manusia dan meningkatkan kemanusiaan manusia di segala bidang,
baik moral maupun material. Jadi, peningkatan kekayaan demi realisasi tujuan
utama manusia sebagai khalifah di muka bumi, adalah sarana terbaikbagi akhirat.
Tiada kebaikan bagi seseorang yang tidak berjuang mendapatkannya. Dalam hal
ini, orang yang mengabaikan dan meninggalkan dunia tidak masuk dalam naungan Islam.[11]
D.
Konsep
pengentasan kemiskinan dalam Islam
Dalam pandangan
Islam, kemiskinan bukanlah suatu kenikmatan, ia merupakan satu bentuk ujian
hidup. Dengan kemampuan dan potensi yang ada, ia harus diupayakan untuk
dihindari, dan apabila kemiskinan tetap terjadi, harus dihadapi dengan sabar, tawakkal
dan dibarengi dengan usaha (ikhtiyâr) untuk melepaskan diri darinya.[12]
Salah satu
ulama yang memberikan pemikirannya mengenai konsep pengentasan kemiskinan
adalah Yusuf Qordhowi. Enam sarana yang ditawarkan pengentasan kemiskinan versi
Yusuf Qordhowi sebagai berikut:[13]
Pertama: Bekerja
Yang dimaksud dengan bekerja menurut Qordhowi adalah suatu usaha
yang dilakukan seseorang atau bersama orang lain untuk memproduksi barang atau
memberikan jasa. Bekerja semacam inilah yang dimaksud Qordhowi sebagai senjata
pertama untuk memerangi kemiskinan. Islam membukakan pintu kerja bagi setiap
muslim agar dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan, pengalaman
dan pilihannya. Bekerja merupakan factor utama untuk memperoleh penghasilan dan
unsur terpenting untuk memakmurkan bumi, yang merupakan tugas manusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi ini.
Menurut Qordhowi, ketika
menciptakan bumi, Allah sekaligus memberi berkah kepadanya. Ia menakar makanan
segenap makhluk hidup yang hidup diatas bumi lalu meletakkan berkah dan
kebaikan yang melimpah di perut bumi dan diatasnya. Berkah yang ada di bumi ini
memungkinkan semua hamba Allah hidup berkecukupan.
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ
مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ ۗ قَلِيلًا مَا
تَشْكُرُونَ
Dan sungguh, Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka
bumi dan disana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. Tetapi sedikit
sekali kamu bersyukur.[14]
Namun seiring dengan itu, sunnatullah menetapkan bahwa rezeki
yang telah dijamin, makanan yang telah ditakar, dan kehidupan yang telah
dimudahkan, tidak diperoleh kecuali dengan bekerja.
Kedua: Jaminan Sanak Famili
Menurut Qordhowi untuk
mengangkat harkat manusia, Islam memiliki syariat yang orisinil dan jelas yaitu
bekerja. Akan tetapi, ada beberapa kenyataan manusia-manusia yang tidak mampu
bekerja seperti orang yang lemah, anak-anak kecil, orang yang sudah tua renta,
orang yang sakit atau cacat, atau mereka yang tertimpa bencana sehingga tidak
mampu bekerja. Menghadapi kenyataan seperti ini, Islam bertekad menyelamatkan
dan mengangkat mereka dari lembah kemiskinan serta mencegah dari tindakan
mengemis dan meminta-minta. Islam memnuat peraturan yang berkaitan dengan
solidaritas antar anggota keluarga. Islam menjadikan seluruh karib kerabat
saling menopang dan saling menunjang. Yang kuat menolong yang lemah, yang kaya
membantu yang miskin, yang mampu mengulurkan tangan kepada yang tidak mampu.
Ketiga: Zakat
Tidak semua orang miskin
mempunyai kerabat. Apa yang dapat dilakukan oleh mereka yang lemah seperti anak
yantim, para janda, ibu yang sudah tua renta, atau ayah yang sudah udzur,
mereka yang buta dan mereka yang cacat, sedang mereka tidak memiliki saudara.
Menurut Qordhowi, islam tidak pernah melupakan mereka, secara tegas dan pasti
islam telah menentukan hak mereka dalam harta orang yang berada yaitu berupa
zakat. Jadi tujuan utama zakat adalah menghapus kemiskinan.
Menurut Qardhawi, Islam
tidak menempatkan masalah zakat sebagai urusan pribadi, tetapi sebagai salah
satu tugas pemerintahan islam. Dalam hubungan ini Islam menyerahkan wewenang
kepada Negara untuk memungut dan membagikannya kepada yang berhak.
Keempat: Jaminan Baitul Mal
Khazanah islam
atau baitul mal merupakan harta milik Negara, baik yang berupa harta benda,
sarana dan prasarana yang dikendalikan dan menghasilkan jasa pelayanan, maupun
perusahaan milik Negara, serta sector-sektor yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, pajak dan seperlima dari harta rampasan perang, selain zakat merupakan
sumber utama dari baitul mal. Qardhawi menjadikan baitul mal ini sebagai sarana
keempat pengentasan kemiskinan. Ketika perolehan zakat tidak dapat memenuhui
kebutuhan mereka yang membutuhkan, harta kekayaan pemerintahan muslim yang
terhimpun dalam baitul mal dapat dipergunakan.
Kelima: Kewajiban di luar zakat
Ada beberapa kewajiban selain zakat yang menurut Qardhawi merupakan sumber
bantuan yang cukup signifikan bagi kaum fakir dan miskin dalam rangka menghapus
kemiskinan. Beberapa
diantaranya adalah:
a.
Hak
tetangga. Allah SWT memerintahkan melalui kitab-Nya untuk menjaga hak ini.
Rasulullah SAW pun menyuruh kita menghormatinya. Beliau menjadikan sikap
menghormati tetangga sebagai bagian dari iman dan tindakan menyia-nyiakan
mereka sebagai cirri orang yang terlepas dari ikatan islam. Rasulullah bersabda
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan
tetangganya”.
Yang dimaksud dengan tetangga bukan hanya orang yang bersebelahan
rumah dengan kita. Menurut ajaran lama, empat puluh rumah dari semua sisi rumah
kita termasuk tetangga. Jadi boleh dikatakan bahwa penduduk suatu kampung
adalah saling bertetangga.
b.
Berkurban
pada hari raya kurban. Menurut madzhab Hanafiyah, berkurban wajib hukumnya bagi
mereka yang berkelapangan. Hal ini berdasarkan hadist “Siapa yang berkelapangan
tetapi tidak berkurban maka janganlah ia dekat dengan mushalla kami”.
c.
Denda
karena melanggar sumpah.
d.
Tebusan
zihar, yaitu barang siapa mengatakan kepada istrinya “Punggungmu seperti
punggung ibuku atau saudaraku” atau serupa dengan itu, haramlah baginya
istrinya sampai ia membayar tebusan dengan memerdekakan budak. Bila tidak ada
budak, ia harus bepuasa dua bulan berturut-turut. Bila tidak mampu, ia harus
member makan enam puluh orang miskin.
e.
Tebusan
bersenggama dengan istri bulan Ramadhan. Tebusan kesalahan ini sama dengan
tebusan zihar sebagaimana dijelaskan oleh hadist shahih.
f.
Fidyah kelompok orang yang tidak kuat melaksanakan ibadah puasa, misalnya
lelaki dan wanita renta serta orang sakit yang tidak mungkin sembuh lagi.
Mereka wajib membayar fidyah setiap hari di bulan Ramadhan seukuran makan
seorang miskin.
g.
Denda
haji, yaitu denda yang dibayarkan oleh orang yang melanggar suatu larangan
ketika ihram sewaktu melaksanakan ibadah haji dan umrah. Atau karena ia
mengerjakan haji tamattu dan haji qiran. Dendanya adalah
menyembelih unta, sapi, atau kambing.
h.
Kewajiban
melengkapi kebutuhan fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu kewajiban
terpenting yang harus dilaksanakan. Setiap individu dalam masyarakat islam
bertanggung jawab melengkapi kebutuhan primer kaum miskin untuk diri dan
keluarganya.
Keenam: Sedekah Sukarela dan Kemurahan Hati Individu
Islam
tidak hanya menetapkan berbagai kewajiban dan ketentuan di kalangan
pengikutnya. Ia pun berupaya menciptakan jiwa yang bersih, pemurah dan
penyantun. Kepada umattnya ia mengajarkan kerelaan untuk untuk memberikan lebih
dari permintaan, melaksanakan kewajiban lebih dari tuntutan, mengulurkan tangan
tanpa diminta, dan berinfak dalam keadaan lapang maupun sempit, dengan
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Dari keenam sarana pengentasan kemiskinan yang ditawarkan oleh Qardhawi,
dapat kita lihat bahwasanya sarana sosial mempunyai andil yang besar dalam
membantu pengentasan kemiskinan. Islam mengajarkan agar setiap manusia hidup
saling tolong menolong dalam bermasyarakat, menjalin keadilan antara umat
sehingga tercapai kesejahteraan bagi masing-masing individu dalam masyarakat.
E.
Kesimpulan
Islam tidak memandang kemiskinan sebagai sebuah keadaan atau takdir yang
harus dinikmati oleh orang yang terkena nasib miskin, namun Islam mengajarkan
betapa pentingnya potensi dan kemampuan yang ada di setiap insan untuk dikelola
dan dikembangkan untuk menghindari mereka dari keadaan miskin, dengan berbagai
cara yang efektif dan dinamis.
Hadist Ibnu Majah yang meminta Nabi dijadikan
dari golongan miskin tidak dapat dipahami bahwa Nabi mencintai kemiskinan. Arti
miskin dalam hadist tersebut adalah tawadhu’, dan bukan kekurangan
harta, apabila diartikan kekurangan harta akan menjadi bertentangan dengan
hadist lain yang ternyata Nabi meminta perlindungan pada Allah dari kefakiran.
Hadist pertama, Riwayat Ibnu Majah derajatnya
adalah dhoif, belum bisa mencapai derajat hasan, sedangkan hadist kedua Riwayat
Abu Daud mencapai derajat shahih, sehingga hadist pertama dapat dibantah dengan
hadist kedua. Hal ini menunjukkan bahwasannya, Islam tidak memberikan apresiasi
terhadap orang miskin, justru sebaliknya islam mendorong agar umatnya terhindar
dari kemiskinan.
Untuk mengentaskan kemiskinan, Islam mempunyai
cara yang variatif, seperti yang 6 cara ditawarkan oleh Yusuf Qordhawi yaitu
dengan bekerja, jaminan sanak family, zakat, jaminan baitul
maal, kewajiban diluar zakat, sedekah sukarela dan kemurahan hati individu.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shadr,
Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishaduna. Jakarta:Az-Zahra.
Diana, Ilfi
Nur. 2012. Hadis-hadis Ekonomi. Malang:UIN
MALIKI PRESS.
Muna,
Arif Chasanul. 2012. “Prinsip-prinsip Penanganan Kemiskinan Di Madinah Pada
Masa Nabi Muhammad SAW”, 9(2): 1-13
RI, Departemen
Agama. 2005. Mushaf Al-Quran dan Terjemah. Depok: Al-Huda Kelompok Gema
Insani.
Wargadinata,
Wildana. 2011. Islam dan Pengentasan
Kemiskinan. Malang: UIN-MALIKI PRESS.
[6]
Arif Chasanul Muna, “PRINSIP-PRINSIP PENANGANAN KEMISKINAN DI MADINAH PADA
MASA NABI MUHAMMAD SAW”, (2 Desember 2012).
[8] Syarah
Ibnu Majah, CD-ROM Hadist Syarif Kutubu al-Tis’ah, dikutip dari Ilfi Nur Diana,
Hadis-hadis Ekonomi…111.
[9] Taqiyuddin
al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, dikutip dari Wildana
Wargadinata, Islam dan Pengentasan Kemiskinan, (Malang: UIN-MALIKI
PRESS, 2011), 14.
[11]
Muhammad Baqir As-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam Iqtishaduna, (Jakarta:Az-Zahra,
2008), 426.
[12] Arif
Chasanul Muna, “PRINSIP-PRINSIP PENANGANAN KEMISKINAN DI MADINAH PADA MASA
NABI MUHAMMAD SAW”, (2 Desember 2012).
[13]
Ibid, 57-75
[14] Departemen
Agama RI, Mushaf Al-Quran dan Terjemah, (Depok: Al-Huda Kelompok Gema
Insani, 2005), 152.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
This is how my acquaintance Wesley Virgin's autobiography starts in this shocking and controversial video.
You see, Wesley was in the army-and soon after leaving-he found hidden, "SELF MIND CONTROL" secrets that the CIA and others used to get everything they want.
THESE are the same methods tons of famous people (especially those who "became famous out of nowhere") and top business people used to become wealthy and famous.
You've heard that you use only 10% of your brain.
That's because most of your brain's power is UNTAPPED.
Maybe that thought has even occurred INSIDE your very own head... as it did in my good friend Wesley Virgin's head around 7 years ago, while riding an unlicensed, garbage bucket of a vehicle without a license and with $3 in his bank account.
"I'm very frustrated with living check to check! When will I become successful?"
You've taken part in those thoughts, am I right?
Your own success story is going to be written. You need to start believing in YOURSELF.
UNLOCK YOUR SECRET BRAINPOWER
Posting Komentar